001

KEMISKINAN MASYARAKAT (BUKU AJAR)



Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa dapat menjelaskan arti kemiskinan dan pengukurannya

2. Mahasiswa dapat mendeskripsikan ragam kemiskinan dan faktor penyebabnya

3. Mahasiawa dapat menganalisis kemiskinan dan dampaknya pada kehidupan bermangsa dan bernegara

4. Mahasiswa dapat mengemukakan pemecahan terhadap masalah kemiskinan

Pengantar

Pembukaan Undang-Udang Dasar 1945 menyatakan, bahwa salah satu tujuan Republik Indonesia didirikan adalah memajukan kesejahteraan umum. Sejak pemerintahan pertama menjalankan tugas hingga pemerintahan terkini, peningkatan kesejahteraan memang selalu menjadi agenda penting. Namun, juga diakui bahwa secara faktual kesejahteraan itu belum dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Kemiskinan masih merupakan salah masalah berat yang dialami sebagian penduduk baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan.

Dalam satu dasa warsa terakhir, jumlah penduduk miskin masih relatif besar, sekalipun terjadi penurunan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 1996 sekitar 34,59 juta atau (17,47%). Jumlah itu meningkat secara signifikan pada tahun 1998 menjadi 49,50 juta atau (24,23%). Peningkatan jumlah penduduk miskin
tersebut, karena krisis moneter yang puncaknya pada tahun 1998 -1999. Krisis itu telah menimbulkan peningkatan harga-harga bahan primer, sekunder, maupun tersier yang berakibat pada kenaikan garis kemiskinan dan penurunan daya beli masyarakat sehingga angka kemiskinan meningkat (Profil Kemiskinan Indonesia (2009).

Secara perlahan jumlah penduduk miskin dapat diturunkan dengan berbagai program pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin menjadi 34,96 juta atau (15,42%), dan pada tahun 2010 ini jumlah penduduk masih berkisar 31,5 Juta atau (13%) lebih. Namun, apabila menggunakan indikator ukuran organisasi Internasional, jumlah penduduk miskin masih lebih besar, sekitar 17%. Dan jika menggunakan indikator Bank Dunia dengan pengeluaran 2 $ AS per hari, jumlah penduduk miskin masih lebih besar lagi, atau hampir setengah dari penduduk Indonesia masih dalam katagori miskin (Rocman, 2010).


Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dalam Sholeh, 2010

Jika melihat angka-angka kemiskinan penduduk tersebut dalam perspektif yang panjang, pertanyaan reflektif yang timbul adalah mengapa di usia yang ke 65 tahun ini, jumlah penduduk miskin masih besar, sekitar berkisar 31,5 juta jiwa atau 13% lebih? Permasalahan inilah yang perlu mendapat kajian bersama, agar diwaktu mendatang pemecahan kemiskinan tidak hanya di seputar angka-angka yang dicapai selama ini, tetapi lebih signifikan untuk membebaskan penduduk yang seharusnya mereka dapat terbebaskan dari belenggu kemiskinan tersebut.


Kemiskinan dan Ukurannya

Kemiskinan adalah kondisi dimana sesorang atau kelompok orang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya secara bermartabat. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai

Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living standards across the whole
society

(Sumodiningrat, 1999). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kemiskin-an terkait dengan batas absolut standar hidup sebagian masyarakat miskin dan menyangkut standar hidup relatif dari masyarakat.

Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Ketidakmampuan tersebut ditunjukkan oleh kondisinya yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan. Garis kemiskinan merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan, setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.

Kemiskinan merupakan konsep dan masalah yang multiperspektif. Dalam perspektif ekonomi, kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Dalam konteks ini, sumber daya tidak hanya berupa aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Dengan indikator materi, seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 2.100 kalori/orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.

Dalam perspektif kesejahteraan sosial, kemiskinan mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok untuk mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Keterbatasan individu karena adanya faktor penghambat berupa faktor internal
yang bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan, faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, oleh karena terlalu lama dalam kondisi miskin baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino, berupa patologi atau masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contoh munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.

Kemiskinan juga dapat dipandang dalam perspektif sebab dan akibat. Sebagai sebab, kemiskinan merupakan akar dari sebagian besar tindak kriminalitas.
Fenomena pencurian, perampokan atau pembunuhan, dan kasus-kasus bunuh diri atau kelaparan disebabkan oleh kemiskinan. Sebagai sebuah akibat, kemiskinan merupakan suatu produk praktek ketidakadilan. Ketidakadilan pemimpin, hukum atau sistem, bahkan ketiganya. Pemimpin yang tidak adil akan menempatkan orang miskin sebagai ’sampah’ yang tidak perlu dipikirkan. Sehingga, pemimpin seperti ini hanya akan mementingkan kepentingan dirinya dan orang-orang disekitarnya, tidak peduli jutaan orang merintih dalam kemiskinannya.

Ketidakadilan hukum akan menempatkan orang miskin dalam posisi lemah. Apalagi jika hukum bisa dijualbelikan, maka keberadaan orang miskin akan semakin sulit mendapatkan akses struktural yang mengeksklusi dirinya. Ketidakadilan sistem akan membuka peluang orang miskin tertindas, karena dalam sistem yang tidak adil, terjadi hukum rimba; yang kuat dan beruanglah yang berkuasa.

Dengan demikian, secara umum kemiskinan diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang serba terbatas, baik dalam eksesibilitas pada faktor produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup lainnya, sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat
terbatas (Sulistiyani, 2004).


Perubahan Garis Kemiskinan Maret 2008-Maret 2009

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan. Sebab, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama Maret 2008-Maret 2009, Garis Kemiskinan naik sebesar 9,65 persen, yaitu dari Rp182.636,- per kapita per bulan pada Maret 2008 menjadi Rp 200.262,- per kapita per bulan pada Maret 2009. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Bulan Maret 2008, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 74,07 persen, tetapi pada
Bulan Maret 2009, peranannya hanya turun sedikit menjadi 73,57 persen.

Komoditi yang berpengaruh pada kemiskinan berupa komoditi makanan dan bukan makanan. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, mie instan, tahu dan tempe. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, biaya listrik, angkutan dan
minyak tanah.

Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada Bulan Maret 2008, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 28,06 persen di perdesaan dan 38,97 persen di perkotaan. Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain yang berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (3,10 persen di perkotaan; 4,18 persen di perdesaan), telur (3,38 persen di perkotaan; 2,43 persen di perdesaan), mie instan (3,39 persen di perkotaan; 2,82 persen di perdesaan), tempe (2,56 persen di perkotaan; 2,14 persen di perdesaan), dan tahu (2,27 persen di perkotaan; 1,65 persen di perdesaan).

Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap Garis Kemiskinan, yaitu 5,28 persen di perdesaan dan 7,38 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik, angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 3,07 persen, 2,72 persen dan 2,65 persen, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).

Pola yang serupa juga terlihat pada Bulan Maret 2009. Pengeluaran untuk beras masih memberi sumbangan terbesar terhadap Garis Kemiskinan, yaitu 25,06 persen di perkotaan dan 34,67 persen di perdesaan. Beberapa barang-barang kebutuhan pokok lainnya masih berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan, seperti gula pasir (2,83 persen di perkotaan; 3,72 di perdesaan), telur (3,61 persen di perkotaan; 2,68 di perdesaan), mie instan (3,21 persen diperkotaan; 2,70 di perdes aan), tempe (2,47 di perkotaan; 2,09 di perdesaan), dan tahu (2,24 persen di perkotaan; 1,60 persen di perdesaan). Sumbangan komoditi bukan makanan di perdesaan lebih kecil dibanding di perkotaan. Sumbangan komoditi bukan makanan terhadap Garis Kemiskinan terbesar adalah pengeluaran untuk rumah, yaitu 7,58 persen di perkotaan dan 5,73 persen di perdesaan. Pengeluaran listrik di perkotaan memberi sumbangan lebih besar kepada Garis Kemiskinan yang mencapai 3,08 persen, sedangkan perdesaan hanya 1,81 persen. Sumbangan komoditi lain terhadap Garis Kemiskinan adalah angkutan 2,85 persen di perkotaan dan 1,34 persen di perdesaan, dan minyak tanah menyumbang sebesar 1,73 persen di perkotaan dan 0,70 persen di perdesaan.



JENIS KEMISKINAN DAN PENYEBABNYA

Banyak perspektif yang yang menjelaskan bentuk-bentuk kemiskinan. Menurut Jamasy (2004) terdapat empat bentuk kemiskinan yang mana setiap bentuk memiliki arti tersendiri. Keempat bentuk tersebut adalah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yang melihat kemiskinan dari segi pendapatan, sementara
kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan dari segi penyebabnya.

1. Kemiskinan absolut terjadi apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimun, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas agar bisa hidup dan
bekerja. Kemiskinan jenis ini mengacu pada satu standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat /negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari penduduk yang makan dibawah jumlah yang cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa). Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari, dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari. Dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 terdapat 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari, dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari.

2. Kemiskinan relatif adalah kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatanmasyarakat  sekitarnya. Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di negara bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota.

3. Kemiskinan struktural ialah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan struktural muncul karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural adalah pemerintah. Sebab, pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, Kalau pun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan, sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’. Artinya jika pada awalanya sebagai buruh, nelayan, pemulung, maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an para intelektual mengangkat isu kemiskinan struktural ini. Kemiskinan ini timbul, karena ada hubungan sosial ekonomi yang membuat kelompok orang tereksklusi dari posisi ekonomi yang lebih baik. Penyebab eksklusi adalah ketergantungan ekonomi pada negara industri maju, struktur perekonomian nasional jatuh pada segelintir orang (kolusi penguasa dan pengusaha) serta politik dan hubungan sosial yang tidak demokratis.

Kemiskinan struktural hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan karena kemalasan, atau bukan karena karena nasib. Kemiskinan jenis ini muncul dari suatu usaha pemiskinan. Suatu usaha untuk menciptakan jurang semakin lebar saja antara yang kaya dengan yang miskin. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang timpang, yang timbul dari tiadanya suatu hubungan yang simetris dan sebangun yang menempatkan manusia sebagai obyek. Kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni dan justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, sehingga justru orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.

Namun dalam beberapa dasawarsa belakangan ini terjadi kecenderungan fenomena yang berbalik. Beberapa negara berkembang yang penduduknya mengalami kemiskinan struktural, ternyata mampu bangkit dan berkembang untuk merebut pasar global (Rohman, 2010). Pertanyaanya, apakah hal itu pertanda kemiskinan karena faktor struktural tidak ada lagi, dan yang ada faktor kultural serta kurangnya akses pada kebutuhan dasar? Hal ini secara empiris perlu mendapat telaah yang lebih mendalam .

(4) Kemiskinan kultural mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya. Sikap budaya itu, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Sedangkan, kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan
bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

Pandangan lain tentang budaya miskin merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama. Keadaan seperti itu membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir. Dalam konteks keagamaan disebut dengan paham jabariah. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.


Keterkaitan Kemiskinan Struktural dan Kultural

Dalam konteks Indonesia, jika ditinjau dari masalah kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural. Terlebih status Indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang berdampak pada kemerosotan kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar, yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama memfokuskan pada pembangunan aspek politik. Proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus berlangsung secara cepat. Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas sehingga masyarakat tidak beranjak dari situasi kemiskinannya, karena secara struktural tidak terprioritaskan.

Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan. Melalui cara pinjaman dana kepada lembaga donor di luar negeri, seperti IGGI dilakukan secara ekstensif. Namun, dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya. Kondisi itu pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.

Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural. Masyarakat menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup. Hal itu sering diperkuat dengan pendekatan keagamaan yang meminta agar orang tetap selalu
bersabar dan bersyukur menerima ‘takdir’ yang dialaminya.

Jika dilihat dari argumentasi diatas, mayoritas kemiskinan yang terjadi merupakan dominasi kemiskinan struktural. Tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.



Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan tidak disebabkan oleh faktor tunggal, dan juga tidak terjadi secara linier. Sebaliknya, kemiskinan bersifat majemuk dan disebabkan oleh multi faktor yang saling terkait satu dengan yang lain. Secara prinsip ada tiga faktor penyebab kemiskinan, yaitu faktor struktural, faktor kultural, dan
sumberdaya alam yang terbatas (Mubiyarto, 1993; Sumodiningrat 1998; Rocman, 2010; Handoyo, 2010).

Faktor struktural penyebab kemiskinan berupa:

(1) Struktur sosial masyarakat yang menyebabkan sekelompok orang berada pada lapisan miskin. Keluarga miskin dengan kepemilikan lahan yang sempit, atau bahkan tidak punya sama sekali. Anak-anak yang lahir dari keluarga seperti ini, sejak awal sudah mewarisi kemiskinan tersebut. Mereka sulit mendapatkan akses untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan untuk memperbaiki kualitas diri dan hidupnya sehingga jatuh dalam situasi kemiskinan yang tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.

(2) Praktek ekonomi masih jauh dari nilai-nilai moral Pancasila yang bertumpu pada kebersamaan, kekeluargaan, dan keadilan. Dalam praktek kehidupan lebih mengarah pada praktek ekonomi pasar bebas yang mengagungkan kompetisi dan individu dari pada kebersamaan, kekeluargaan, dan masih jauh dari nilai keadilan. (2) Pasal 33 UUD 1945 masih belum efektif untuk diterjemahkan dalam peraturan organik yang lebih operasional untuk mengatur praktek kegiatan ekonomi. Undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai turunan dari pasal 33 tersebut masih dibutuhkan. Sejumlah Undang-Undang Organik dan peraturan telah dibuat oleh lembaga tinggi negara yang berkompeten. Namun, bukan berarti permasalahannya selesai dengan Undang-Undang Organik tersebut. Kenyataanya masih muncul
berbagai masalah yang berdampak pada potensi peningkatan jumlah penduduk miskin. Pengelolaan sumber daya air, tambang dan gas yang kurang baik dapat menimbulkan jumlah penduduk miskin. Sebagai contoh sumber daya air yang tidak terkelola dengan baik menyebabkan air sungai tercemar. Pada hal selama ini sungai menjadi sumber air keluarga, terutama bagi rumah tangga miskin. Tidak berfungsinya air sungai sebagai sumber air bersih menyebabkan rumah tangga miskin membeli air bersih, setidahnya untuk minum, atau terpaksa mengkonsumsi air yang tercemar tersebut. Sebagai akibatnya mereka mengeluarkan biaya hidup untuk membeli air. Hal itu akan menambah jumlah kemiskinan penduduk. Sumber daya alam yang melimpah tidak otomatis dapat mensejahterakan penduduk sekitar.
Kasus tambang di Papua menggambarkan realitas itu. Tambang emas, tembaga yang sangat besar itu belum dapat mengentaskan kemiskinan penduduk sekitar dan membebaskan dari keterbelakangan. Hal itu dapat terjadi karena:
  • (1) nilai kontrak yang terlalu murah, 
  • (2) distribusi hasil yang belum berpihak pada kaum
    miskin sekitar, 
  • (3) pengelolaan yang salah.
(3) Paradigma ekonomi masih bertumpu pada ekonomi neoliberal yang kapitalistik. Dalam Peradaban global diakui bahwa pengaruh ekonomi kapitalistik demikianbesar . Bahkan peradapan kehidupan umat manusia pada abad XXI ini telah dimenangkan oleh peradaban kapitalistik. Karena itu, pemikiran-pemikiran neo liberalisme, di sadari atau tidak banyak mempengaruhi kebijakakan ekonomi di Indonesia. Praktek ekonomi yang bertumpu pada modal dan pasar bebas menjadi dasar dalam aktivitas ekonomi. Sebagai contoh terbaru adalah kebijakan yang longgar terhadap keberadaan pasar modern supermaket/minimarket. Pemerintah daerah belum memiliki aturan yang jelas tentang masalah ini. Sementara dilapangan telah bergulir pembangunan supermaket tersebut demikian cepatnya. Sebagai
akibatnya banyak toko-toko di pasar tradisional atau di luarnya yang mengalami penurunan pembeli, karena tidak dapat bersaing. Aturan yang telah ditetapkan jarak 500m dari pasar tradisional, ternyata tidak dapat berjalan efektif.

(4) Konsistensi terhadap nilai-nilai moral Pancasila yang masih kurang. Pancasila merupakan seperangkat nilai-nilai luhur dan mulia yang menggambarkan hubungan mausia dengan Tuhan, Manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Jabaran nilai-nilai luhur tersebut tersurat dan tersirat dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila mengajarkan praktek ekonomi yang demokratis, berkeadilan, efisien, dan berkelanjutan, dan menempatkan posisi negara sebagai entitas yang penting sebagai regulatator dan eksekutor. Namun, kenyataanya praktek ekonomi lebih berpihak kepada ekonomi modal besar dari pada rakyat. Nasib ekonomi kerakyatan menjadi kurang jelas, dan kurang berkelnjutan.

Faktor kultural penyebab kemiskinan berupa:

(1) Penyakit individu (patologis) yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.

(2) penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.

(3) penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.

(4) penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.

Faktor sumberdaya alam yang terbatas berupa:

(1) Tanah yang semakin tandus dan terkontaminasi bahan kimia.

(2) Curah hujan yang rendah hingga kering.

(3) Wilayah tambang yang sudah tinggal sisa-sisa.

(4) Kepemilikan lahan yang semakin menyempit dan hanya bekerja sebagai buruh tani.


Upaya Penanggulangan Kemiskinan

Kemiskinan sebagai masalah nasional, bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Jika ingin berhasil untuk mengatasinya, kemiskinan harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan, termasuk masyarakat itu sendiri. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada penduduk miskin untuk ikut serta dalam proses produksi dan kepemilikan aset produksi. Dalam penanggulangan kemiskinan terdapat prinsip-prinsip yang perlu dijadikan acuan
dasar peneyelesaian, antara lain:

(1) Menerapkan sistem ekonomi yang demokratis dengan peran pemerintah sebagai regulator dan eksekutor yang efektif berpihak kepada kaum miskin.

(2) Pemecahan kemiskinan harus menempatkan kaum miskin sebagai subyek yang di berdayakan

(3) Komitmen pemecahan masalah kemiskinan harus secara berkesinambungan dan terintegrsi

(4) Penerapan ekonomi mengacu pada Pasal 33 UU Dasar 1945

(5) Menerapkan pendekatan struktural

(6) Menerapkan pendekatan kultural

(7) Pemecahan secara terpadu, multi dimesional dan saling terkait


Pemecahan Masalah Kemiskinan Suatu Model Indonesia

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan antara lain tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu model-model pemecahan masalah kemiskinan perlu
dikembangkan secara komprehensif. Berikut sebuah model penanganan kemiskinan di Indonesia.


A. Permasalahan

Permasalahan kemiskinan dilihat dari aspek pemenuhan hak-hak dasar, kependudukan, ketidakadilan dan kesetaraan gender.

  1. (1) Kagagalan pemenuhan Hak Dasar. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi yang masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli masyarakat merupakan persoalan masyarakat miskin.
  2. (2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan. Masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi. Masalah lain rendahnya mutu layanan kesehatan dasar disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya
    sarana kesehatan. Pada umumnya tingkat kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Angka Kematian Bayi (AKB) pada kelompok pendapatan rendah selalu di atas AKB kelompok pendapatan tinggi.
  3. (3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu upaya penting dalam penanggulangan miskin.
    Berbagai upaya pembangunan pendidikan yang dilakukan secara signifikan telah memperbaiki tingkat pendidikan. Pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya mampu memberikan pelayanan secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat sampai saat masih terdapat kesenjangan antar kelompok masyarakat terutama antara kaya dan miskin, antara perkotaan dan pedesaan. Sebagai gambaran, rata-rata Angka Partisipasi Sekolah (APS) – rasio penduduk yang
    bersekolah – untuk usia 13-15 tahun pada tahun 2003 mencapai 75,54 %.
  4. (4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Masyarakat miskin umumnya, menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja, terbatasnya peluang usaha, lemahnya perlindungan terhadap asset usaha, perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama pekerja anak dan pekerja perempuan seperti pembantu rumah tangga. Masyarakat miskin terbatas modal dan kurang ketrampilan maupun pengetahuan. Kondisi ketenagakerjaan pada tahun 2003 menunjukkan belum adanya perbaikan. Bahkan, berdasarkan angka pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir menunjukkan jumlahnya terus meningkat. Pengangguran terbuka yang berjumlah sekitar 1.756.639 orang atau 17,2% dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2000 meningkat menjadi sekitar 1.802.553 orang atau 18,3% dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2001. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mencapai 56,02%. Partisipasi angkatan kerja yang paling menonjol di daerah
    pedesaan (58,03%) dan sangat tinggi untuk laki-laki (80,64%). Kondisi ini mengindikasikan bahwa pemecahan persoalan tenaga kerja harus mengacu pada penyediaan lapangan kerja untuk penduduk pedesaan dan laki-laki.
  5. (5) Memburuknya kondisi lingkungan akibat bencana Tsunami. Meningkat jumlah masyarakat miskin di Nanggroe Aceh Darussalam juga turut disebabkan terjadinya bencana alam dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Masyarakat di daerah pedesaan, perkotaan dan kawasan pesisir yang sangat terkena dampak sosial budaya dan ekonomi. Banyak bangunan rumah tempat tinggal yang rusak dan hancur, hilangnya lapangan kerja dan berusaha seperti kelompok masyarakat nelayan
    dan petani.
B. Sasaran

Sasaran penanggulangan kemiskinan dalam lima tahun mendatang adalah menurunnya jumlah penduduk miskin laki-laki dan perempuan dan terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap. Secara rinci, sasaran tersebut :

(1) Menurunnya persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.

(2) Terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau.

(3). Terpenuhinya pelayanan kesehatan secara kualitas dan kuantitas.

(4). Tersedianya kualitas pelayanan pendidikan dasar yang merata.

(5). Terbukanya kesempatan kerja dan berusaha.


C. Program-program pembangunan

Penanggulangan kemiskinan merupakan masalah yang kompleks. Karena itu langkah-langkah penanggulangan kemiskinan tidak dapat ditangani sendiri oleh satu sektor tertentu, tetapi harus multi sektor dan lintas sektor dengan melibatkan stakeholder terkait untuk meningkatkan efektivitas pencapaian
program yang dijalankan. Oleh sebab itu, strategi yang ditempuh pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan dijabarkan ke dalam program sebagai berikut:

1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan

  1. Peningkatan distribusi pangan, melalui penguatan dan kapasitas kelembagaan dan peningkatan infrastruktur pedesaan yang mendukung sistem distribusi untuk menjamin terjangkau pangan.
  2. Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan melalui bantuan pangan kepada keluarga miskin/rawan pangan.
  3. Revitalisasi sistem lembaga ketahanan pangan masyarakat.
  4. Pemberian subsidi dan kemudahan kepada petani dalam memperoleh sarana produksi, bibit, pupuk dan obat-obatan pemberantasan hama.
  5. Penelitian untuk meningkatkan varietas tanaman pangan unggul.
  6. Pelatihan penerapan tehnologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian.
  7. Pengembangan industri pengolahan pangan
  8. Pelaksanaan pemantauan ketersediaan, harga bahan pangan di pasar tradisionil.
2. Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat

  1. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan jaringannya.
  2. Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya.
  3. Pengadaan peralatan dan perbekalan termasuk obat generik.
  4. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar mencakup kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pemberantasan penyakit menular dan peningkatan gizi.
  5. Pengadaan dan Peningkatan SDM tenaga kesehatan.
3. Program Pelayanan Pendidikan

  1. Peningkatan Pendidikan Dasar
  2. Peningkatan Pendidikan Menengah dan Tinggi
  3. Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah
  4. Pengembangan dan Pemanfaatan Hasil Penelitian dan IPTEK
  5. Peningkatan Apresiasi seni
  6. Pelestarian dan Pengembangan Adat Aceh
  7. Program Peningkatan Kesempatan Kerja Dan Berusaha
  8. Peningkatan kemampuan calon tenaga kerja berkemampuan memasuki lapangan kerja di dalam negeri dan luar negeri.
  9. Peningkatan jaminan keselamatan, kesehatan dan keamanan kerja.
  10. Peningkatan ketrampilan kerja bagi calon tenaga kerja.
 SEPULUH LANGKAH MENAKLUKAN KEMISKINAN


Penanganan berbagai masalah di atas memerlukan strategi penanggulangan kemiskinan yang jelas. Pemerintah Indonesia dan berbagai pihak terkait lainnya memiliki sepuluh langkah yang cukup komprehensif dalam penanggulangan kemiskinan. Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh pemerintahan adalah menyelesaikan dan mengadaptasikan rancangan strategi penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan, dan langkah berikutnya adalah pelaksanaan yang konsisten. Pada tahap kedua inilah pemerintah—pemerintah daerah sering mengalami kegagalan. Berikut ini dijabarkan sepuluh langkah yang dapat diambil dalam mengimplemen-tasikan strategi pengentasan kemiskinan tersebut.


1. Peningkatan fasilitas jalan dan listrik di pedesan.
Berbagai pengalaman di China, Vietnam dan juga di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa pembangunan jalan di area pedesaan merupakan cara yang efektif dalamm engurangi kemiskinan. Jalan nasional dan jalan provinsi di Indonesia relatif dalam keadaan yang baik. Tetapi, setengah dari jalankabupaten berada dalam
kondisi yang buruk.Walaupun berbagai masalah di atas terlihat rumit dalam pelaksanaannya, solusinya dapat terlihat dengan jelas:

  • (1) Menjalankan program skala besar untuk membangun jalan pedesaan dan di tingkat kabupaten.
  • (2) Membiayai program di atas melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
  • (3) Menjalankan program pekerjaan umum yang bersifat padat karya.
  • (4) Menjalankan strategi pembangunan fasilitas listrik pada desa-desa yang belum menikmati tenaga listrik
2. Perbaikan tingkat kesehatan melalui fasilitas sanitasi yang lebih baik.
Untuk mengatasi hal tersebut ada dua hal yang dapat dilakukan:

  1.  Pada sisi permintaan. Pmerintah dapat menjalankan kampanye publik secara nasional untuk meningkatkan kesadaran dalam penggunaan fasilitas sanitasi yang lebih baik. Biaya yang diperlukan untuk kampanye tersebut tidaklah terlalu tinggi, sementara menjanjikan hasil yang cukup baik.
  2. Pada sisi penawaran, tentu saja penyediaan sanitasi harus diperbaiki. Aspek terpenting adalah membiayai investasi di bidang sanitasi yang akan terus meningkat. Dua pilihan yang dapat dilakukan adalah:
  1. mengadakan kesepakatan nasional untuk membahas masalah pembiayaan fasilitas sanitasi dan
  2. mendorong pemerintah lokal untuk membangun fasilitas sanitasi pada tingkat daerah dan kota; misalnya dengan menyediakan DAK untuk pembiayaan sanitasi ataupun dengan menyusun standar pelayanan minimum.
3. Penghapusan larangan impor beras.
Larangan impor beras yang diterapkan bukanlah merupakan kebijakan yang tepat dalam membantu petani. Tetapi kebijakan yang merugikan orang miskin. Studi
yang baru saja dilakukan menunjukkan bahwa lebih dari 1,5 juta orang masuk dalam kategori miskin akibat dari kebijakan tersebut. Oleh karena beberapa
langkah di bawah ini patut mendapat perhatian:

(1) Penghapusan larangan impor beras.

(2) engganti larangan impor dengan bea masuk yang lebih rendah.

(3 Memperbolehkan siapapun untuk melakukan impor.


4. Pembatasan pajak dan retribusi daerah yang merugikan usaha lokal dan orang.
Salah satu sumber penghasilan terpenting bagi penduduk miskin di daerah pedesaan adalah wiraswasta dan usaha pendukung pertanian. Oleh karena itu
pemerintah dapat berusaha menurunkan beban yangditanggung oleh penduduk miskin dengan cara:

  1. Menggantikan sistem pajak daerah yang berlaku dengan mengeluarkan daftar sumber penghasilan yang boleh dipungut oleh pemerintah daerah.
  2. Menghentikan pungutan pajak dan retribusi daerah yang tidak diperlukan, dengan mengharuskan pemerintah daerah untuk mengadakan
    pengkajian dampak suatu peraturan sebelum mengeluarkan pungutanbaru.
  3. Menciptakan dan memperbaiki sistem pelayanan satu atap dan meningkatkan kemampuan serta pemberian insentif pada berbagai elemen pemerintahan daerah. 
  4. Membentuk sebuah komisi dalam mengawasi pungutan-pungutan liar dan pembayaran yang dilindungi.
5 Pemberian hak penggunaan tanah bagi penduduk miskin.

  1. mepercepat program sertifikasi tanah secara dramatis agar setidaknya mencapai tingkatan yang sama dengan rata-rata negara Asia Timur lainnya.
  2. Mengkaji ulang dan memperbaiki undang-undang pertanahan, kehutanan dan juga pertanian.
  3. Mengkaji kemungkinan redistiribusi tanah milik perusahan negara yangtidak digunakan kepada masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah.
  4. Mengakomodasi kepemilikan komunal atas tanah sebagai salah satu bentuk kepemilikan. Prinsip yang terpenting adalah kepastian dalam penggunaan tanah, bukan hanya pada kepemilikan secara pribadi.
  5. Mendukung adanya penyelesaian masalah pertanahan secara kekeluargaan, disamping membentuk peradilan khusus mengenai masalah pertanahan.
  6. Mempersiapkan peraturan yang menjamin kepastian hukum bagi masyarakat miskin yang tinggal di area perhutanan.
6. Membangun lembaga-lembaga pembiayaan mikro (LPM) yang memberi manfaat pada penduduk miskin.
Berbagai langkah penting yang dapat diambil untuk meningkatkan akses penduduk miskin atas kredit pembiayaan adalah:

  1. Menyelesaikan rancangan undang-undang mengenai LPM yang memberikan dasar hukum dan kerangka kelembagaan bagi lembaga pembiayaan mikro untuk menghimpun
    dan menyalurkan dana bagi penduduk miskin.
  2. Membangun hubungan antara sektor perbankan dengan LPM, misalnya dengan memberikan kesempatan bagi BKD untuk menjadi agen untuk bank-bank komersial
    dalam menghimpun dan menyalurkan dana.
  3. Menghentikan penyaluran bantuan modal dan skema pinjaman yang disubsidi. Dana sebanyak tiga trilliun rupiah yang selama ini disalurkan, dapat digunakan
    untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan lembaga pembiayaan mikro, baik yang formal maupun yang berasal dari inisiatif masyarakat setempat, untuk dapat
    mengjangkau kalangan yang lebih luas.
  4. Mengesahkan revisi Undang-Undang Koperasi guna memberikan kerangka hukum yang lebih baik untuk pengembangan pembiayaan
7. Perbaikan atas kualitas pendidikan dan penyediaan pendidikan transisi untuk sekolah menengah.
Pemerintah dapat memperbaiki kualitas pendidikan dan mencegah terputusnya pendidikan masyarakat miskin dengan cara:

  1. Membantu pengembangan Manajemen dan pembiayaan pendidikan yang bertumpu pada peran sekolah.
  2. Menyediakan dana bantuan pendidikan bagi masyarakat miskin.
  3. Mengubah beasiswa Jaring Pengaman Sosial

8. Mengurangi tingkat kematian ibu pada saat persalinan.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kematian tersebut, yaitu:

  1. Meluncurkan kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran atas manfaat penanganan medis professional pada saat persalinan, serta periode sebelum dan sesudahnya.
  2. Menyediakan bantuan persalinan gratis bagi penduduk miskin,
  3. Meningkatkan pelatihan bagi bidan desa,

9. Menyediakan lebih banyak dana untuk daerah-daerah miskin.
Pemberian dana yang terarah dengan baik dapat membantu masalah ini. Untuk memecahkan masalah tersebut, pemerintah dapat melakukan beberapa hal di bawah
ini:

(1) Memperbaiki formulasi Dana Alokasi Umum (DAU) agar memungkinkan pemerintah daerah dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. DAU dimaksudkan
untuk membantu kesenjangan keuangan antar daerah berdasarkan formula yang memperhitungkan tingkat kemiskinan, luas wilayah, jumlah penduduk, biaya hidup
dan kapasitas fiskal.

(2) Meningkatkan pemberian DAK untuk menunjang target program nasional pengentasan kemiskinan. Dana Alokasi Khusus dapat menjadi insentif bagi pemerintah
daerah untuk memenuhi target penurunan tingkat kemiskinan.

10. Merancang perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran.
Pemerintah dapat meningkatkan bantuan pada masyarakat miskin disamping mengadakan penghematan dengan cara:

(1) Mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM).

(2) Menggunakan tabungan pemerintah yang ada untuk mengembangkan program perlindungan sosial,

(3) Memperbaiki penetapan sasaran agar dapat menyentuh lebih banyak penduduk miskin.

(4) Membentuk gugus tugas yang mengkaji sistem perlindungan sosial.



DAFTAR BUKU RUJUKAN

BPS. 2009. Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009, Jakarta Badan Pusat Statistik. Jakarta

Jamasy, O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Belantika

Handoyo, B. 2012. Kemiskinan: Agenda Menunggu Pemecahan. Bahan Kuliah Geografi Sosial.

Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan, http://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/-archives/16

Kemiskinan Kultural Buah Kemiskinan Struktural. Pekerja-sosial.blogspot.com/

Kusnadi, MA. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Bandung: LKIS.

Mubiyarto, 1993. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES

Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret 2009

Ramadhani. R. Kemiskinan kultural atau struktural, (online), erkuadrat.blog.friendster.com/, diakses …

Rocman, B. 2010. Politik Indikator Kemiskinan, (online),

http://metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/09/21/202/Politik-Indikator-Kemiskinan

, diakses 30 Mei 2010

Sulistiyani, AT. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Jakarta: Gava Medic.

Suharto, Edy. Konsep Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya. http://www.policy.hu/suharto/makIndo13.html

Tribunnews. Kemiskinan Meningkat, Pembangunan Harus Dievaluasi, Tribunnews.com – Senin, 2 Januari 2012

Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa, Yayasan Obor Indonesia.

Sumodiningrat, Gunawan. 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Sumodiningrat, Gunawan. 1999, Pemberdayaan Masyarakat Dan JPS, PT Gramedia, Jakarta