Modal Sosial dan Pembangunan Manusia Indonesia
Pendahuluan
Potret kehidupan
masyarakat Indonesia dalam keseharian sulit untuk dipahami. Pencapaian
pembangunan Indonesia selalu terpuruk. Pemerintahan silih berganti, tetapi
Indonesia seperti jalan di tempat. Pengangguran terus bertambah. Kemiskinan
semakin sulit dikendalikan. Kriminalitas meningkat di mana-mana. Investasi
swasta semakin sulit berkembang. Perusahaan-perusahaan industri dalam negeri
semakin sulit bersaing. Bangsa Indonesia jika tidak diwaspadai dari sekarang,
tidak saja akan menjadi serambi belakang bangsa Asia Tenggara dan Asia Timur,
tetapi lebih jauh menjadi pusat menoleh tentang sebuah bangsa yang terus
menerus perlu dikasihani. Pertanyaannya, ada apa dengan Indonesia?
Desa-desa di Indonesia
sebetulnya tidak miskin. Rakyatnya hidup di tanah yang subur. Sungai mengalir
lebar dan ikan-ikan, beberapa waktu yang lalu, pernah melimpah ruah. Rakyat
tidak mengalami kekurangan. Saat ini, yang hilang di desa sebenarnya bukanlah
ikan-ikan di sungai, bukan hutan sebagai sumber kehidupan, bukan hama babi dan
tikus yang mengganggu padi, bukan karena pemerintah mengalirkan subsidi
pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam jumlah yang kurang besar. Yang hilang
adalah sebuah energi. Yang tidak tampak adalah energi kolektif masyarakat untuk
mengatasi problem bersama.
Mereka menjerit minta agar
gedung sekolah diperbaiki, tetapi tidak ada upaya bersama begaimana memelihara
gedung itu dan membetulkan plafon yang ambruk sebelum datang bantuan dari
pemerintah. Mereka menghendaki jalan desa mulus dan tidak lagi berlumpur,
tetapi tidak gerakan untuk bergotong royong mengatasi jalan yang rusak. Mereka
menjerit tentang tikus dan babi, tetapi langkah bersama untuk mengatasinya juga
tidak terlihat. Mereka mengeluh miskin, tetapi di desa yang miskin tersebut,
tanah-tanah pekarangan yang masih luas dibiarkan kosong. Untuk mengkonsumsi
sayuran pun mereka enggan menanam, tetapi harus membeli dari pasar.
Kebersamaan masyarakat
desa saat ini hanya terbatas untuk urusan-uruan perayaan kematian, perkawinan,
dan tahlilan. Kehidupan memberi warna dikotomistik. Di satu sisi, untuk
acara-acara ritual terlihat ada kebersamaan. Di sisi lain, untuk meningkatkan
mutu kehidupan bersama, mereka menunjukkan sikap hidup kemasing-masingan. Tidak
terlihat kepedulian dan kebersamaan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi,
sosial dan lingkungan fisik yang muncul dan membelenggu kehidupan mereka.
Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat sedang tertimpa penyakit yang sangat
kronis, yaitu hilangnya kebersamaan dan energi kelompok karena hilangnya Social
Capital (Modal Sosial) tersebut.
Di negeri yang besar dan
dengan kompleksitasnya persoalan, dimensi Modal Sosial hampir diabaikan, jauh
berada di luar alam pikir pembangunan. Padahal di berbagai belahan dunia dewasa
ini, kesadaran akan pentingnya faktor tersebut cukup tinggi, dan sedang menjadi
kepedulian bersama. Social Capital (Modal Sosial) diyakini sebagai salah
satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide,
kesalingpercayaan, dan kesalingmenguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama.
Francis Fukuyama (1999)
dengan meyakinkan berargumentasi bahwa Modal Sosial memegang peranan yang
sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern.
Modal Sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan manusia, pembangunan
ekonomi, sosial, politik, dan stabilitas demokrasi. Di dalamnya merupakan
komponen kultural bagi kehidupan masyarakat modern. Korupsi dan penyimpangan
yang terjadi di berbagai belahan bumi dan terutama di negara-negara berkembang
Asia, Afrika, dan Amerika Latin, salah satu determinan utamanya adalah
rendahnya Modal Sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang
lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan,
meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Apa dan bagaimana Modal
Sosial itu sesungguhnya, dengan varian dimensi yang ada di dalamnya seperti
teori, konsep definisi, cakupan, dan situasinya di Indonesia, akan menjadi inti
penting materi telaah selanjutnya dalam kertas kerja ini. Secara khusus kertas
kerja ini berusaha menyibak perilaku sosial (yang dibatasi pada dimensi yang
berkaitan dengan Modal Sosial) Manusia Indonesia dan bagaimana solusi yang
memungkinkan untuk menuju keunggulan budaya sekaligus menjadi Manusia Indonesia
yang unggul dan inklusif di masa depan.
Konsep tentang Modal
Sosial
Modal Sosial adalah
sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya
baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya (resources)
adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan
diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai
modal. Dimensi Modal Sosial cukup luas dan kompleks. Modal Sosial berbeda
dengan istilah populer lainnya, yaitu Modal Manusia (human capital).
Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu
daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada Modal Sosial lebih
menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antarindividu dalam
suatu kelompok dan antarkelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial,
norma, nilai, dan kepercayaan antarsesama yang lahir dari anggota kelompok dan
menjadi norma kelompok.
Modal sosial juga sangat
dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan
sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi
jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya
melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal
balik dalam suatu bentuk hubungan sosial. Robert D. Putnam (2000) memberikan
proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang
tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat
yang memiliki tingkat Modal Sosial yang rendah.
Salah satu tokoh utama
yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Modal Sosial yaitu James Coleman
(1990). Atas hasil studinya tentang pemuda dan pendidikan (youth and
schooling) mendefinisikan konsep Modal Sosial sebagai varian entitas,
terdiri dari beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para
pelakunya, apakah dalam bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur
sosial. Modal sosial menurutnya inheren dalam struktur relasi antarindividu.
Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam kewajiban
sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan
menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya. Coleman dan
Bourdieu memiliki kesamaan dalam fokus kajian yaitu individual, terutama yang berkaitan
dengan peran dan hubungan dengan sesama sebagai unit analisis Modal Sosial.
Formulasi lain tentang konsep Modal Sosial dikemukakan juga oleh Adler dan Kwon
(2000) yang menyatakan bahwa Modal Sosial merupakan gambaran dari keterikatan
internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan
keuntungan-keuntungan bersama dari proses dan dinamika Modal Sosial yang
terdapat dalam struktur dimaksud.
Francis Fukuyama (2003)
menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu yang membuat
masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan
di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.
Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan
di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi kestabilan pembangunan ekonomi
dan demokrasi. Pada masyarakat yang secara tradisional telah terbiasa dengan
bergotong royong serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar
cenderung akan meraskan kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan efektif,
memberikan kontribusi penting bagi kemajuan negara dan masyarakat.
Masing-masing tokoh yang
mempopulerkan konsep Modal Sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap
unsur-unsur yang membentuknya. Perbedaan tersebut juga dalam hal pendekatan
analisis. dari berbagai konsep yang telah disebutkan di atas, intinya konsep
Modal Sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai
tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan
penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk
mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang
dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta
berhubungan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan
ruh Modal Sosial antara lain sikap yang partisipatif, sikap yang saling
memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, dan
diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang
memegang peran penting adalah kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk
secara terus menerus pro aktif, baik dalam mempertahankan nilai, membentuk
jaringan-jaringan kerjasa, maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru.
Etos Kerja Bangsa
Indonesia
Secara sederhana kata
etos, dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat. Perwujudan
etos itu dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat itu (Sairin,
2002). Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan bagi perilaku
diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpencar dalam kehidupan
masyarakat (Geertz, 1973). Oleh karena etos menjadi landasan bagi kehidupan
manusia, maka etos itu juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat
menilai dalam kehidupan masyarakat (Abdullah, 1982).
Masyarakat Indonesia sejak
lama dikenal memiliki etos kerja yang rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa
lain. Mitos “Melayu malas” sering dilontarkan oleh penulis Barat dalam menilai
etos kerja pribumi di Indonesia. Namun pendapat itu ada pula yang membantah
dengan menunjukkan bagaimaan kerasnya kerja yang dilakukan para petani dan
buruh di berbagai tempat di Indonesia. Rendahnya tingkat kemajuan bangsa
Indonesia menurut pendapat terakhir ini, tidak berkaitan sama sekali dengan
etos kerja orang Indonesia, tetapi lebih berkaitan dengan politik ekonomi
pembangunan. Kedua pendapat di atas jelas mempunyai kekuatan dan kelemahannya
masing-masing, tetapi sukar untuk disangkal bahwa tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan suatu masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh etos kerja yang ada
pada masyarakat itu.
Dari pengamatan terkesan
bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih memandang bekerja adalah untuk mencari
nafkah dan mendapatkan status sosial. Pada masyarakat Indonesia, kata bekerja
selalu dikaitkan dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi ke
kantor atau ke tempat ia bekerja, sering ia mengatakan pergi mencari makan. Hal
ini mencerminkan bahwa orientasi nilai bangsa Indonesia dalam hubungannya
dengan kegiatan bekerja hanyalah sekedar mencari nafkah. Akibatnya etos kerja
menjadi sangat rendah. Ungkapan bekerja dengan makna mencari makan itu jelas
merupakan ungkapan yang tumbuh pada masyarakat yang subsisten dan tradisional,
yaitu masyarakat yang hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Tanpa harus bekerja lebih keras untuk mencapai tingkat produktivitas yang lebih
dari itu.
Rendahnya etos kerja juga
dipengaruhi oleh tegas atau tidaknya suatu masyarakat dalam membedakan antara
konsep “waktu” yang ditentukan oleh gejala alam dengan “waktu” yang ditentukan
oleh ukuran jam. Umumnya etos kerja pada masyarakat yang dapat membedakan
antara kedua “waktu” itu lebih tinggi dari yang tidak dapat membedakannya.
Mereka yang dapat membedakan kedua waktu itu dengan tegas, akan berbeda
kinerjanya dengan mereka yang mencampuradukkan antara kdua “waktu” tersebut.
Mereka yang tahu “waktu” menurut jam akan bekerja memenuhi target waktu yang
jelas, sedangkan yang tidak mengenal “waktu” menurut jam, akan selalu terbawa
pada keinginan untuk mengulur-ulur pekerjaannya. Pada masyarakat Indonesia,
penggunaan waktu menurut ukuran “jam” masih merupakan sesuatu yang langka.
Umumnya masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan waktu yang bersifat
relatif, seperti nanti, sebentar, besok, dan sebagainya. Hal ini juga membawa
pengaruh pada etos kerja masyarakat Indonesia.
Gambaran lain yang mewarnai
kehidupan masyarakat Indonesia adalah adanya nilai-nilai tertentu dan juga
norma sosial yang sangat tidak menguntungkan dari perspektif untuk tumbuh
kembangnya Modal Sosial. Konsep baik, terutama bila seseorang disebut baik,
bukan terletak pada perilaku orang tersebut yang sejalan dengan ajaran agama
atau dengan nilai-nilai universal, melainkan apakah orang atau individu
tersebut memiliki atau menunjukkan perilaku yang sesuai atau tidak dengan
tuntunan adat.
Pandangan tentang hidup
yang melakat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama
Islam adalah ketimpangan dalam pemahaman tentang hidup di dunia dan pandangan
tentang hari kemudian. Untuk apa bekerja keras, karena hidup di dunia sangat
sementara, hidup yang sebenarnya adalah di hari kemudian. Biar miskin di dunia,
asal kaya di akhirat. Masyarakat pun kemudian menjalani kehidupan dengan pasif.
Pandangan bahwa hidup di dunia adalah sesuatu yang berharga dan manusia harus
mampu menjadi pemimpin bagi alam semesta sedikit sekali memberi sentuhan.
Pengembangan Modal Sosial
untuk Pembangunan
Modal Sosial, tidak
diragukan, merupakan energi pembangunan. Pembangunan yang mengabaikan dimensi
ini sebagai pendorong munculnya kekuatan masyarakat dan bangsa, tidak saja akan
kehilangan fondasi kemasyarakatan yang kuat, tetapi juga akan mengalami
stagnasi dan kesulitan untuk keluar dari berbagai krisis yang dialami. Sebagai
energi, Modal Sosial akan efektif memberikan dorongan keberhasilan bagi
berbagai kebijakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak
swasta. Keyakinan ini didasarkan pada kekuatan yang dimilikinya guna merangsang
masyarakat membangun secara swadaya, yang hasilnya akan memaksimalkan
pencapaian dari setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah.
Secara historis, negara
tidak memiliki tradisi penciptaan Modal Sosial. Seperti yang dikemukakan oleh
Fukuyama (1999), Modal Sosial tersebut bersumber atau by product dari
agama, tradisi dan pengalaman-pengalaman bersama yang selalu berulang di tengah
masyarakat, dan ini di luar kemampuan dan kontrol pemerintah. Ketika
kebijakan-kebijakan dirancang, semestinya pemerintah menyadari bahwa Modal
Sosial yang tumbuh di masyarakatnya merupakan produk dari masyarakat itu
sendiri. Pemerintah tetap dapat berperan sebagai pendorong untuk tumbuh dan
munculnya energi Modal Sosial itu kembali, tetapi bukan pencipta.
Agama, menurut Francis
Fukuyama, merupakan salah satu sumber utama Modal Sosial.
Prkumpulan-perkumpulan keagamaan sangat potensial untuk menghadirkan dan
membangun suatu bentuk dan ciri tertentu dari Modal Sosial. Ajaran agama
merupakan salah satu sumber dari nilai dan norma yang menuntun perilaku
masyarakat. Agama lah yang menjadi sumber utama inspirasi, energi sosial, serta
yang memberikan ruang bagi terciptanya orientasi hidup penganutnya.
Tradisi yang telah
berkembang secara turun temurun juga sebagai sumber terciptanya norma-norma dan
nilai, hubungan-hubungan relasional antarmasyarakat serta kelompok-kelompok
sosial. Tatanan yang terbangun merupakan produk kebiasaan yang turun temurun,
dan kemudian membentuk kualitas Modal Sosial. Kelompok-kelompok masyarakat yang
terbangun oleh suatu organisasi sosial yang khas dan berbasis kepada garis
keturunan merupakan salah satu dari sekian sumber yang melahirkan Modal Sosial.
Di samping itu, Modal
Sosial yang terbentuk dari produk-produk yang disebutkan di negara dengan
kehidupan masyarakat yang masih tradisional perlu dicermati. Kaitannya dengan
kehidupan kelompok, biasanya memiliki radius Modal Sosial yang pendek yang
dapat menghasilkan pandangan-pandangan negatif terhadap kelompok di luarnya (negative
externalities). Melalui lembaga-lembaga pendidikan, Modal Sosial juga dapat
tumbuh. Lembaga pendidikan tidak hanya memberikan pelajaran-pelajaran keilmuan
semata, tetapi idealnya sebagai tempat membangun Modal Sosial dalam bentuk
aturan-aturan dan norma serta nilai. Kemungkinan ini tidak hanya melalui
lembaga-lembaga pendidikan di tingkat dasar dan menengah, tetapi juga melalui
lembaga pendidikan tinggi. Produk lembaga pendidikan tinggi sebaiknya tidak
hany beruruan dengan keilmuan semata, tetapi juga menciptakan nilai-nilai baru
yang berorientasi pada dimensi kebebasan berpendapat, kesamaan kedudukan, dan
etika yang tinggi.
Peran Agama dan
Keterpinggiran Agama oleh Budaya Lokal
Di tengah kuatnya arus
sekularisasi di dunia, peran agama tetap memiliki kedudukan sentral dalam
memperlemah atau memperkuat dimensi Modal Sosial. Walaupun pada agama-agama
tertentu kian meluntur terutama di dunia Barat, namun secara umum saat ini
justru terjadi kebangkitan kesadaran manusia terhadap pentingnya agama dalam
memperkaya dimensi spiritual dalam kehidupannya. Agama yang memberikan
inspirasi terhadap perubahan-perubahan sosial saat ini tumbuh kuat terutama di
dunia Islam yang membentang dari Afrika Utara sampai Nusantara.
Ajaran agama yang dianut
oleh para pengikutnya dengan mencampuradukkan antara pesan murni yang terdapat
pada kitab sucinya dan adat istiadat turun temurun yang umumnya berasal dari
nilai-nilai animisme akan sangat potensial dalam memperlemah Modal Sosial.
Islam yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia adalah agama yang
memiliki eksternalitas positif yang tinggi. Islam mendorong kerjasama yang kuat
dalam kelompok, tetapi dengan sikap yang inklusif yang memungkinkan diperluasnya
jaringan-jaringan kerjasama dengan pihak di luarnya. Kejujuran, semangat
memberi yang tinggi (tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah),
kebebasan, persamaan, dan kemajemukan merupakan intisari ajaran Islam yang
sangat berkait erat dengan dimensi Modal Sosial.
Ajaran-ajaran luhur
tersebut, dalam praktiknya, kurang menjiwai perilaku para pengikutnya. Apa yang
menonjol justru menciptakan ekslusifisme dan, pada kelompok-kelompok, cenderung
memiliki eksternalitas negatif yang begitu kuat. Ajaran Islam tentang perlunya
keterbukaan dan membentuk jaringan-jaringan kerjasama antarindividu maupun
antarkelompok masyarakat telah dipersempit menjadi fanatisme kelompok. Semangat
kejujuran juga belum menjadi jiwa massal para pengikutnya. Jika benar korupsi,
penipuan, kebohongan, dan beragam tindakan penyimpangan lainnya di Indonesia
telah menjadi sesuatu yang massal dan massive, bukankah kata massal
tersebut sebenarnya merujuk ke umat Islam yang merupakan 88,22 persen dari
jumlah penduduk Indonesia (SP 2000; Suryadinata, 2003). Ini terjadi karena
ajaran agama terpinggirkan. Yang lebih terasa dominan adalah semangat inward
looking dalam koridor extended family, kelompok kecil dan individu
itu sendiri. Seseorang tidak merasa bersalah untuk mengambil hak orang lain, walaupun
ajaran agama dengan keras melarangnya. Kekuatan tradisi kelompok yang bonding
dan inward looking jauh lebih besar, yang dimanifestasikan dalam bentuk
tuntutan dan legalisasi kejahatan oleh keluarga, kelompok, dan dari dalam
individu itu sendiri yang kehilangan empati terhadap yang lain.
Semangat memberi dengan
ikhlas yang merupakan unsur resiprositas Modal Sosial, merupakan salah satu
jiwa dan semangat agama, tetapi dalam praktiknya, tanpa mengabaikan beberapa
kelompok yang berbuat nyata untuk menyantuni orang miskin dan anak yatim, masih
jauh dari yang diidealkan oleh misi agama. Pembagian zakat dan fitrah yang
dilakukan lebih terkesan sebagai sekedar memenuhi tuntutan kewajiban, bukan
karena didasari oleh semangat altruisme dan empati untuk saling membantu sesama
umat, terutama orang miskin. Dalam kehidupan keseharian, semangat resiprositas
dan merasakan penderitaan antarsesama hampir tidak memperlihatkan warnanya.
Masyarakat hidup dalam sekat-sekat yang terpisah, dan yang miskin akan tetap
dalam kemiskinan dan ketidakberdayaannya.
Ajaran Islam juga sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan dan kebebasan (yang juga menjadi inti
jiwa Modal Sosial). Yang terjadi di tengah masyarakat, semangat persamaan dan
kebersamaan dalam memperoleh berbagai kesempatan begitu terpinggirkan. Elite
masyarakat, baik yang didasarkan oleh kemampuan ekonomi, keturunan, pengetahuan
agama, yang mendominasi tidak hanya atas kesempatan-kesempatan ekonomi, tetapi
juga dalam setiap dimensi pengambilan keputusan. Hal ini bersumber dari
akomodatifnya para pemuka agama di bawah dominasi adat-istiadat feodal dengan
hirarki-hirarki tradisional yang sesungguhnya tidak diidealkan oleh ajaran
agama itu sendiri. Kenyataan-kenyataan ini telah memperlemah bahkan memusnahkan
potensi Modal Sosial yang seharunya tumbuh kuat di masyarakat.
Salah satu kata kunci
mengatasi berbagai permasalahan sosial tersebut di atas adalah dibangunnya
gerakan bersama untuk kemungkinan mengkaji ulang metodologi dakwah yang lebih
membumi, mengutamakan praktik daripada kata-kata, dan mampu membebaskan umat
dari belenggu budaya yang melilit mereka. Dengan kata lain, kita membutuhkan
reformasi besar. Dalam konteks Modal Sosial, interpretasi ajaran membutuhkan
penekanan yang sangat kuat pada dimensi yang mencakup keseluruhan elemen dari
Modal Sosial tersebut sebagai prasyarat terbentuknya kebudayaan unggul. Tanpa
dilakukan reformasi besar, untuk meluruskan praktik keagamaan dan membangun
modal sosial yang memang sejalan dengan amanat agama, beragam stimulus pembangunan
yang dilakukan akan mengalami kendala dan bahkan kegagalan.
Reorientasi dan Reformasi
Budaya Lokal
Bersamaan dengan reformasi
besar dalam interpretasi ajaran agama, reformasi budaya juga merupakan
kebutuhan. Budaya lokal yang feodal, hierarkies, penuh dominasi kelompok dalam
suatu entitas, membelenggu kebebasan, menghindari kerja keras dan prestasi. Di
beberapa daerah di Nusantara, kehidupan sosial didominasi oleh kelompok
bangsawan (nobelity) yang relatif makmur, sementara rakyat biasa hidup
dalam kemiskinan. Dalam konteks tertentu, mereka hidup dalam situasi
ketidakmerdekaan yang menyedihkan. Hubungan sosial yang tercipta didasarkan
atas hirarki dari masing-masing kelompok sosial garis keturunan.
Beberapa dimensi budaya
yang mendesak untuk dikaji ulang tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh
semua komponen bangsa, terutama yang berkaitan dengan dominasi kelompok sosial
tertentu atas kelompok sosial yang lain, nilai-nilai dan norma yang
mengentalkan orientasi budaya inward looking, hilangnya semangat
resiprositas, kohesifitas yang dibatasi tembok-tembok keluarga, suku, kelompok
kecil, dan sejenisnya. Nilai dan norma tradisionallah yang telah membentuk
pandangan hidup yang cenderung menghindari produktivitas, memupuk kohesitivitas
sosial ke dalam kelompok yang tinggi tetapi menghindari eksternalitas.
Jalur Pendidikan sebagai
Salah Satu Pilihan
Lembaga pendidikan bukan
hanya tempat memberi dan menerima ilmu tetapi melalui lembaga-lembaga tersebut
kemungkinan terjadinya sosialisasi nilai-nilai baru seperti profesionalisme,
kejujuran, integritas, kesamaan, kebebasan, dan keadaban sebagai penopang utama
budaya unggul, sangat besar. Lembaga pendidikan dengan demikian tidak hanya
berhubungan dengan dimensi cultural capital , human capital, tetapi
yang tidak kalah pentingnya adalah social capital. Akan tetapi, di
Indonesia yang sering terjadi lembaga pendidikan cenderung dipandang oleh
masyarakat yang justru meredusir nilai-nilai kepercayaan. Semangat kejujuran
yang terkandung sebagai unsur vital Modal Sosial justru, di banyak tempat,
terdegredasi sedemikian rupa.
Lembaga pendidikan yang
diidealkan menjadi contoh kejujuran justru disorot masyarajkat sebagai salah
satu lembaga yang diragukan kejujurannya. Proyek-proyek pembangunan sekolah
selalu dipertanyakan. Dalam beberapa hal, buku pelajaran, seragam sekolah, dan
perlengkapan sekolah lainnya telah menjadi komoditas dan instrumen perdagangan.
Berbagai pungutan yang dibungkus kesepakatan antra wakil orangtua dan wakil
pengelola sekolah telah menyulitkan sebagian bear orangtua dan terutama orang
miskin. Ini juga sekaligus menghilangkan rasa percaya terhadap lembaga
pendidikan sebagai lembaga yang memiliki bobot moral yang tingi.
Jaringan alumni yang
diharapkan dapat memperkuat Modal Sosial, di satu sisi memang menciptakan Modal
Sosial dalam pengertian, mereka berkumpul dalam kelompok. Hanya saja yang
terjadi hanyalah dalam bentuk bonding social capital bukan sesuatu yang
menjembatani (bridging social capital) untuk semakin kuatnya jaringan
sosial yang dibina dengan pihak luar untuk memperkaya ide dan kemajuan
masyarakat. Jaringan alumni perguruan tinggi layaknya kelompok tradisional di
pedesaan yang hanya berurusan dengan kepentingan material kelompok elitnya
semata. Adanya kelompok alumni dan keanggotaan dalam kelompok tersebut hayalah
untuk memperluas jaringan internal (internal networking) untuk
mendapatkan kesem[patan menjadi pegawai negeri atau kesempatan kerja yang lain.
Radius kepercayaan tercipta dalam jaringan yang sempit, bukan sebagai Modal
Sosial.
Dalam kaitannya dengan
lembaga pendidikan, yaitu sekolah, sesungguhnya masih sangat banyak gambaran
kebersahajaan dan kesederhanaan dari para guru di Indonesia. Mereka berusaha
menjalankan amanah sebagai guru dan memberi tauladan moral, tetapi dalam
kehidupan di masyarakat sendiri, guru yang demikian tidak/belum mendapat tempat
setinggi tempat para guru yang kaya karena berbagai “usaha” yang dilakukannya
yang berhubungan dengan profesi yang disandang. Penghargaan yang tinggi dari
pemerintah terhadap mereka yang mengajar di daerah terpencil, yang sangat aktif
dan berprestasi tetapi hidup dalam kesederhanaan, dan sejenisnya menuntut
perhatian bersama. Guru tidak akan berani memungut sesuatu dari muridnya kalau
aturan, pengawasan dan tindakan dari pengelola pendidikan cukup kuat dan
disiplin. Jika lembaga pendidikan bersih dari berbagai penyimpangan, lembaga
tersebut beserta produknya akan sangat efektif bagi upaya penguatan Modal
Sosial sekaligus sebagai katalisator perubahan ke arah yang lebih baik.
Kikis Semangat Kesukuan
yang Negatif
Semangat kesukuan dalam
suatu negara merupakan bentuk kohesifitas sosial inward looking yang
akan sangat merugikan dalam konteks penguatan sosial, baik untuk kepentingan
penguatan dan pengembangan masyarakat suku untuk memiliki budaya unggul, maupun
dalam kaitannya dengan penguatan Modal Sosial bangsa secara keseluruhan. Di
Indonesia terdapat 1.072 etnis dan subetnis (SP 2000; Suryadinata, 2003) yang
masing-masing memilki sistem budaya, bahasa, dan adat-istiadat masing-masing.
Pemerintah Indonesia pada
masa pemerintahan Sukarno dan Suharto tidak melakukan pengelompokan masyarakat
ke dalam berbagai etnis, tetapi hanya berdasarkan kelompok agama dan kelompok
kewarganegaraan dengan tujuan untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia yang terdiri
dari berbagai etnis menjadi orang Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ini justru
diterima oleh masyarakat luar Jawa sebagai bentuk Jawanisasi, karena program
sentralisasi yang dilakukan pemerintah lebih mencerminkan pemaksaan
pemberlakuan sistem budaya Jawa ke seluruh Indonesia. Hal ini lah yang
menyebabkan munculnya isu “Putra Daerah” pada masa reformasi. Sensus Penduduk
terakhir yang dilakukan Pemerintah Indonesia tahun 2000 kembali memasukkan
variabel etnis di dalamnya.
Sejak bergulirnya
reformasi tahun 1998, gerakan-gerakan kesukuan meningkat semakin kuat di
Indonesia, terutama pada beberapa suku yang selama ini memang dikenal meimiliki
kohesifitas kelompok yang cukup rekat. Di Indonesia, terdapat dua ciri gerakan
kesukuan. Pertama, sebagai wujud protes atas hegemoni dan dominasi yang
lama dari khususnya etnis Jawa terhadap etnis-etnis di luar Jawa pada masa
pemerintahan Suharto. Gubernur, Bupati, dan para kepala dinas dan kantor
wilayah didominasi oleh etnis Jawa. Istilah Jawanisasi begitu populer di kalangan
masyarakat lokal setempat.
Kedua, wujud keterisolasian
budaya di beberapa tempat di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Pada jenis ini
sentimen kesukuan memiliki latar belakang dan motif yang berbeda dengan yang
terjadi pada etni-etnis, yang dalam ukuran populasinya, relatif sedang dan
kecil di luar Jawa. Secara historis, para elite lokal suku agak sulit menerima
dengan ikhlas kehadiran pendatang dari luar sukunya. Walaupun demikian, karena
sesuatu yang memang sulit dihindari, arus pendatang cukup tinggi sebagai
konsekuensi dari terpusatnya berbagai sentra industri dan kesempatan kerja.
Dalam interaksi keseharian, sekilas tidak memiliki persoalan, tetapi kenyataan
yang sebenarnya tetap saja sulit untuk menerima budaya lain ke dalam kehidupan
komunitas.
Apapun motifnya, baik yang
terjadi pada etnis-etnis di luar Jawa maupun etnis-etnis yang ada di Pulau
Jawa, semangat yang demikian akan memperlemah Modal Sosial bangsa secara
keseluruhan. Pembaharuan ide melalui proses akulturasi budaya tidak terjadi.
Jaringan sosial dan kepercayaan yang seharusnya terbuka lebar melewati
batas-batas klan dan etnis menjadi terhambat. Mereka yang menduduki
jabatan-jabatan penting di lembaga pemerintahan lokal bukan karena
kompetensinya atas jenis pekerjaan dan tugas yang harus dilakukan, melainkan
karena keterkaitan keluarga, atau karena sesama orang se-etnis dan se-bahasa
daerah. Modal Sosial bangsa semakin hancur, dan ini jika terus berkembang akan
mematikan semangat hidup bangsa itu sendiri. Bangsa akan menjadi lemah. Berbagai
persoalan pembangunan akan sukar dicari penyelesaian dan jalan keluar yang
kreatif, karena yang menduduki berbagai jabatan yang membutuhkan kehandalan
pemikiran bukanlah mereka yang mampu, melainkan karena “kami” satu suku.
PENUTUP
Kehidupan kelompok masyarakat
yang kohesif tidak selamanya memiliki Modal Sosial yang tinggi, tetapi
tergantung kepada orientasi dan dimensi historis terbentuknya nilai, norma, dan
kelompok tersebut. Suatu kelompok yang menyandarkan pada pola budaya inward
looking cenderung akan menghasilkan negative externalities bahkan
kontra produktif terhadap pengembangan Modal Sosial tersebut yang berdampak
pada lemahnya kemampuan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan untuk
memperbaiki kualitas kehidupan.
Kelambanan pembangunan
manusia di Indonesia merupakan akibat dari diabaikannya dimensi Modal Sosial
sehingga melahirkan masyarakat yang bukan berkebudayaan unggul melainkan
berkebudayaan inferior. Beragam aspek diduga telah menghambat perkembangan
Modal Sosial seperti lemahnya semangat kebersamaan untuk membangun
kelompok/perkumpulan, hancurnya rasa saling mempercayai, metodoloi pengajaran
dan interpretasi yang keliru terhadap beberapa ajaran agama, pola-pola budaya
yang hirarkis dan feodal, lembaga-lembaga pendidikan yang kurang mampu menjadi
panutan moralitas, perilaku politik dan beragam penyebab lainnya. Dampak nyata
dari situasi tersebut adalah kekurangoptimalan pencapaian dari berbagai program
pembangunan yang dilaksanakan.
Setiap etnis berikut
setting sosial yang ada di dalamnya, memiliki karakteristik dan strategi of
survival yang khas. Apabila energi kolektif etnis dan nilai-nilai positif
yang ada bisa diperluas menjadi energi kolektif bangsa melalui tumbuhnya
kesadaran jaringan dan kesadaran outward looking yang kuat, niscaya
keuntungan-keuntungan besar akan diraih. Hal ini tidak hanya dalam batas upaya
merekatkan kehidupan kebangsaan, melainkan akan terbangun enrgi kolektif untuk
bangkit dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kestabilan demokrasi.
Budaya yang telah turun
temurun, yang diwarnai oleh berkembangnya nilai-nilai tertentu di masing-masing
kelompok, klan, dan etnis tidak harus dihancurkan, melainkan harus terus
dipupuk selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang menghendaki
persamaan, keadaban, kemanusiaan, dan pencapaian. Kekuatan setiap entitas
sosial dalam wujud warna-warninya kebudayaan etnis-etnis adalah kekayaan
kebudayaan bangsa itu sendiri.
Jika rasa percaya (trust)
tumbuh kembang melintasi batas-batas budaya lokal, kemungkinan besar semangat
membangun bersama akan lebih kuat. Perilaku yang bersifat destruktif yang
muncul dari masyarakat yang kehilangan trust akan dapat dikurangi.
Jalannya pemerintahan akan lebih efektif. Pembangunan pun dapat dilaksanakan
dengan lebih efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, P & S Kwon.
2000. “Social Capital: The Good, the Bad and the Ugly”. In E. Lasser
(ed.). Knowledge and Social Capital: Foundations and Applications. Butterworth-Heinemann.
Ali, S. Husin. 1985. Rakyat
Melayu Nasib dan Masa Depannya. Inti Sarana Aksara. Jakarta.
Coleman, J. 1990. Foundation
of Social Theory. Harvard University Press. Cambridge.
Evers, Hans-Dieter. 1995. Sosiologi
Perkotaan Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. LP3ES.
Jakarta.
Hasbullah, Jousairi. 2006.
Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). MR-United
Press. Jakarta.
Fukuyama, Francis. 1999. Social
Capital and Civil Society. Institute of Public Policy. George Mason
University.
Fukuyama, Francis. 2003. Social
Capital and Economic Development. Routledge. London.
Putnam, Robert D. 2000. Bowling
Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon and Schuster.
New York.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan
Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Suryadinata, Leo, et
al. 2003. Penduduk Indonesia Etnisitas dan Agama dalam Era Perubahan
Politik. LP3ES. Jakarta.