Pemberdayaan
Masyarakat Dan
Pemerataan
Pembangunan
Pendahuluan
Ketidak adilan pembangunan yang ada
selama ini dikarenakan oleh adanya salah sasaran atau sering bertumpang
tindihnya satu program dengan program lainnya. Hal ini disebabkan oleh
kelemahan data yang digunakan sebagai basis menetapkan program pemangunan bagi
masyarakat tersebut. Karena base line data yang tidak akurat ini pula, maka ia
justru menjadi pembenar kesalahan alokasi program tersebut. Kondisi ini tidak
jarang membuat kesal masyarakat, sehingga menambah ketidak percayaan kepada
pemerintah. Kelemahan ini memerlukan penyelesaian secepatnya supaya kesalahan
yang sama tidak terulang lagi.
Data base yang digunakan untuk
menyusun program pembangunan masyarakat baik itu program pengentasan kemiskinan,
penciptaan lapangan kerja, program kesehatan, pendidikan dan lain-lain, saat
ini masih simpang siur dan tidak sama satu sama lain yang dikeluarkan oleh BPS
tidak sama dengan yang dikeluarkan oleh BKKBN dan lain dengan BAPPEDA.
Akibatnya banyak program yang sering salah sasaran.
Ubtuk menghindari kesimpangsiuran dan
buntunya informasi yang diterima oleh masyarakat data yang ada tersebut harus
dipegang dan dikuasai oleh masyarakat itu sendiri, karena data inilah yang
menjadi basis perencanaan pembangunan berikutnya. Dengan akurasi landasan yang
valid, yang dipercaya oleh masyarakat, program pembangunan nantinya bukan lagi
sekedar menyuarakan keinginan, melainkan kebutuhan nyata masyarakat.
Pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara umum yang dilandasi dengan adanya perbaikan di
seagala bidang. Bagi Indonesia yang masih merasakan sisa-sisa dampak krisis
multi dimensi, kebutuhan program pembangunannya perlu difokuskan pada program
pengestasan kemiskinan dan pengangguran. Oleh sebab itu program pembangunan
yang tidak membawa dampak kesejahteraan masyarakat harus perlu dipertimbangkan
baik-baik.
Mengkaji pembangunan tidak seyogyanya
hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial ekonomi berkembang luas.
Masalah-masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia menjadi kajian-kajian
pembangunan antara lain menurut Bauzon (1992), Goulet (1977) yang menekakankan
pada falsafah dan etika pembangunan misalnya, mengetengahkan bahwa proses
pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya “solidaritas baru” yang mendorong pembangunan yang berakar dari
bawah (grass-roots oriented), (2)
memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjung tinggi
martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat.
Dalam pembahasan mengenai berbagai
paradigma yang mencari jalan kearah pembangunan yang berkeadilan perlu
diketengahkan pula teori pembangunan yang berpusat pada rakyat. Era pasca
industri menghadapi kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi era
industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memantapkan
pertumbuhan dan kesejahteraan manusia,
keadilan dan kelestarian pembanguna itu sendiri (korten, 1984). Logika yang dominan
dari paradigma ini adalah suatu ekologi manusia yang seimbang, dengan
sumber-sumber daya utama berupa sumber-sumber daya informasi dan prakarsa
kreatif yang tidak habis-habisnya dan yang tujuan utamanya adalah pertumbuhan
manusia yang didifinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia.
Paradigma pembangunan manusia, memberi
peran kepada individu bukan sebagai obyek saja, melainkan sebagai pelaku yang
menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya, dan mengarahkan proses yang
mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang bepusat pada rakyat menghargai dan
mengembangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat atau muatan lokal.
Menurut pendekatan ini, tujuan utama
dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan
masyarakatnya suntuk dapat menikmati kehidupan kreatif, sehat dan berumur
panjang. Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh keinginan untuk
meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman pembangunan
menunjukkan bahwa kaitan antara
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya.
Pengalaman tersebut mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi dan pendapatan (wealth) hanya merupakan alat saja,
sedangkan tujuan akhir pembangunan adalah untuk manusia itu sendiri.
Seperti dikemukakan oleh Ul Haq,
(1985), tujuan pokok pembangunan adalah
memperluas pilihan-pilihan manusia, penjelasan ini mempunyai dua sisi. Pertama, pembentukan kemampuan manusia
seperti derajad kesehatan, pengetahuan, dan
keahlian yang meningkat. Ke dua,
penggunaan kemampuan yang telah dipunyai
untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam kegiatan
kebudayaan, sosial, dan politk. Paradigma pembangunan manusia yang disebut
sebagai konsep yang holistik mempunyai empat unsur penting yakni: (1)
peningkatan produktivitas, (2) pemerataan kesempatan, (3) kesinambungan
pembangunan, serta (4) pemberdayaan manusia.
Konsep ini diprakarsai dan ditunjang
oleh UNDP, yang mengembangkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini merupakan indikator komposit
atau gabungan yang terdiri dari tiga ukuran, yaitu kesehatan, (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai ukuran knowledge), dan tingkat
pendapatan riil (sebagai uuran living
standards).
Masih dalam taraf
pengembangan sekarang muncul pula gagasan pembangunan yang berkelanjutan yang
erat kaitannya dengan kesejahteraan yang semakin terus meningkat dari generasi
ke generasi, jaminan pemerataan pembangunan antar generasi. Dalam konsep ini pemakaian dan hasil penggunaan
sumberdaya alam dan lingkungan yang merusak sumbernya tidak dihitung sebagai
kontribusi terhadap pertumbuhan melainkan sebagai pengurangan aset. Kondisi sekarang ini penting kita
perhatikan karena bangsa yang kaya hari ini, bisa menjadi paling miskin di hari
kemudian.
Untuk itu upaya pemberdayaan masyarakat
menjadi kebijakan yang sangat penting
karena pemberdayaan masyarakat adalah suatu konsep pembangunan ekonomi yang
merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, seperti dikemukakan oleh (Chamber, 1995), yakni bersifat “people-centered, participatory, empowering,
and sustaninabel. Upaya pengembangan masyarakat di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari keadaan politis dan pemerintahan Indonesia sendiri. Pola
pengembangan masyarakat di Indonesia secara umum telah dikembangkan oleh
Departemen Dalam Negeri, sedangkan secara sektoral dikembangkan oleh beberapa
departemen dan lembaga pemerintah non depertemental, serta lembaga-lembaga non
pemerintah. Di Indonesia, pola pengembangan masyarakat dalam kerangka
Departeman Dalam Negeri, di masukkan dalam Pengembangan Masyarakat Desa.
Pengembangan
masyarakat di Indonesia lebih ditekankan pada desa antara lain karena lebih 2/3
penduduk Indonesia berada di daerah pedesaan (baik itu rural village maupun urban
village), Di samping itu, bila dilihat dari sisi sejarah, terlihat
perbedaan pandangan dalam melihat desa Indonesia dengan beberapa negara maju.
Bila pada beberapa negara maju desa hanya merupakan garis belakang (hinterland) yang memberi dukungan pada
kota, sedangkan di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu desa menjadi titik
sentral kehidupan negara. Hal ini dapat dilihat perjuangan-perjuangan yang
selalu di dukung oleh daerah pedesaan atau berbasis di suatu pedesaan.
Di
sektor ekonomi, wilayah pedesaan di Indonesia juga menjadi sumber kehidupan
karena Indonesia adalah negara agraris. Oleh karena itu, pembangunan di
Indonesia akan kurang mempunyai arti bila tidak dilakukan pembangunan
masyarakat desa. Pemilihan pembangunan masyarakat desa sebagai titik sentral
pengembangan masyarakat di Indonesia juga dilakukan, karena disadari masih cukup
banyak desa yang belum dikembangkan secara optimal.
Pembangunan
Masyarakat Desa yang sekarang disebut juga dengan nama Pemberdayaan Masyarakat
Desa, pada dasarnya, serupa dan setara dengan konsep Pengembangan Masyarakat (Community Devolepment). Seperti
dikemukakan oleh Shardlow dalam Adi (2003: 54), pemberdayaan pada intinya
membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai
dengan keinginan mereka. Selanjutnya dikemukakan oleh Schlippe pada mulanya
teori tentang pembangunan masyarakat desa ini tidak ada. Perkembangan teori
pembangunan desa itu dimulai dari praktek, yaitu kebutuhan yang dirasakan di
dalam masyarakat terutama dalam situasi sosial yang dihadapi di dalam
negara-negara yang menghadapi perubahan sosial yang cepat.
Dalam
kerangka pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga
analisis yaitu.
Pertama, menciptakan
suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (anabling). Pada analisis ini
penekanannya bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang
dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya,
namun daya yang dimilki kurang tidak pernah dikembangkan. Pemberdayaan adalah
upaya untuk mengembangkan daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Ke dua, memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka kegiatan
ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya
menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata,
dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input),
serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
Dalam rangka pemberdayaan ini,
upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan
dan akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, kesempatan
kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan menyangkut pembangunan prasarana
dan sarana dasar fisik seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti
sekola dan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat
pada lapisan paling bawah serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan,
pelatihan, dan pemasaran pedesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang
keberdayaannya sangat kurang.
Dengan demikian, diperlukan
adanya program khusus bagi masyarakat yang kurang mampu, karena program-program
umum yang berlaku untuksemua, tidak selalu dapat menyentuh penduduk pada
lapisan bawah ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti bekerja
keras, hiduphemat, keterbukaan, dan rasa bertanggungjawab adalah bagian pokok
dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi
sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta penaran masyarakat
di dalamnya
Sungguh penting di sini adalah
peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan proses pengambilan
keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan
masyarakat sangat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan
demokrasi. Sejalan dengan pemikiran Fridman (1992)
dijelaskan “The empowrment approach,
which is fundamental to an alternative development, places the emphasis on
autonomy in the decision marking of temtorially organized communities, local
self-reliance (but not autarchy), direct (participatory) democracy, and
experiential social learning”.
Ke tiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi.
Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah kondisi penduduk yang lemah menjadi
bertambah lemah, yang disebabkan oleh kekurangberdayaan dalam menghadapi yang
kuat.
Oleh karena itu perlindungan
dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep
pemberdayaan masyarakat. Melindungi
tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru
akan mengerdilkan yang kecil dan melemahkan yang lemah. Melindungi harus
dilihat sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, ekploitasi yang kuat atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat bukan
membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap
apa yang dinikmati, harusdihasilkan atas usaha sendiri yang hasilnya dapat
dipertukarkan dengan pihak lain. Dengan
demikian, tujuan akhir dari pemberdayaan adalah memandirikan masyarakat,
memampukan,dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung.
Strategi Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan
pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses tranformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik
masyarakat. Perubahan struktur yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang
menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah
yang menghasilkan.
Pada
pembahasan teori-teori ekonomi makro, yang umumnya berdasarkan pada peran pasar dalam alokasi sumberdaya, serta dengan pra anggapan bahwa
kebijakan ekonomi makro yang tepat akan menguntungkan semua lapisan masyarakat,
dalam kenyataannya tidak dapat menghasilkan jawaban yang memuaskan bagi masalah
kesenjangan. Kekuatan sosial yang tidak beimbang, menyebabkan kegagalan pasar
untuk mewujudkan harapan itu.
Oleh
karena itu oleh Brown (1995), dikemukakan diperlukan intervensi yang tepat,
agar kebijakan pada tingkat makro mendukung upaya mengatasi masalah kesenjangan
yang harus dilakukan dengan kegiatan
yang bersifat mikro dan langsung ditujukan
pada lapisan masyarakat paling bawah. Pemberdayaan masyarakat dapat
dipandang sebagai jembatan bagi konsep-konsep pembangunan makro-mikro.
Dalam kerangka pemikiran ini berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan
kepada masyarakat melalu program pembangunan harus ditempatkan sebagai
rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses
ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capasity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari
surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang
dinikmati oleh masyarakat, proses transformasi itu harus digerakkan oleh
masyarakat sendiri.
Pengertian
pemupukan modal sperti itu menunjukkan bahwa bantuan dana, prasarana, dan
sarana harus dikelola secara tertib dan transparan dengan berpegang pada lima
prinsip sebagai berikut:
1. Mudah diterima dan didayagunakan oleh
masyarakat sebagai pelaksana dan pengelola (acceptable).
2. Dapat dikelola oleh masyarakat secara
terbuka dan dapat dipertangungjawabkan (accountable).
3. Memberikan pendapatan yang memadahi dan mendidik masyarakat untuk mengelola
kegiatan secara ekonomis (profitable).
4. Hasilnya dapat dilestarikan oleh
masyarakat sendiri sehingga menciptakab pemupukan modal dalam wadah lembaga
sosial ekonomi setempat (sustainable).
5. Pengelolaan dana dan pelestarian hasil
dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup
yang lebih luas (recipcable).
Pendekatan
utama dalam pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat tidak dijadikan obyek
dari berbagai proyek pembangunan, melainkan sebagai subyek atau aktor dari
upaya pembangunan itu seniri. Dengan
demikian kebijakan pemberdayaan masyarakat diperlukan
pendekatan-pendekatan sebagai berikut.
1. Upaya pemberdayaan harus terarah (targetted).Hal ini secara umum disebut
pemihakan yang ditujukan langsung kepada yang memelukan, dengan program yang
direncanakan untuk mengatasi masalah sesuai dengan kebutuhannya.
2. Program pemberdayaan langsung
mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu
mempunyai beberapa tujuan yakni supaya bantuan tersebut efektif karena
sesuai dengan kehendak dan mengenali kebutuhan mereka. Selain itu sekaligus
meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang,
melaksanakan, mengelola dan mempertangungjawabkan upaya peningkatan diri dan
ekonominya.
3. Menggunakan pendekatan kelompok, kerena
secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya
dilakukan secara individu. Karena itu dengan pendekatan kelompok adalah paling
efektif dan dilihat dari penggunaan
sumber daya juga akan lebih efisien. Di samping
itu kemitraaan usaha antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih
maju harus terus-menerus dibina dan dipelihara secara saling menguntungkan dan
memajukan.
Selanjutnya
untuk kepentingan analisis, pemberdayaan masyarakat harus dapat dilihat baik dengan pendekatan komprehensif rasional maupun
inkremental.
Dalam pengertian pertama,
dalam upaya ini diperlukan perencanaan berjangka, pengerahan sumberdaya yang
tersedia dan pengembangan potensi yang ada secara nasional,yang mencakupseluruh
masyarakat. Dalam upaya ini perlu dilibatkan semua lapisan masyarakat, baik
pemerintah maupun dunia usaha dan lembaga sosial dan kemasyarakatan, serta
tokoh-tokoh dan individu-individu yang mempunyai kemampuan untuk membantu.
Dengan demikian programnya harus
bersifat nasional, dengan curahan sumberdaya yang cukup besar untuk
menghasilkan dampak yang berarti.
Dengan pendekatan yang ke dua,
perubahan yang diharapkan tidak selalu harus terjadi secara cepat dan bersamaan
dalam derap yang sama. Kemajuan dapat dicapai secara bertahap, langkah demi
langkah, mungkin kemajuan-kemajuan kecil, juga tidak selalu merata. Pada satu sektor lainnya dapat berbeda
percepatannya, demikain pula antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya.
Dalam pendekatan ini, maka desentralisasi dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan sangat penting. Tingkat pengambilan keputusan haruslah di dekatkan
sedekat mungkin kepada masyarakat.
Secara
teoritis, agar suatu desa berkembang dengan baik, maka terdapat tiga unsur yang
merupakan suatu kesatuan, yaitu:
1. Desa (dalam bentuk wadah)
2. Masyarakat desa, dan
3. Pemerintahan desa.
Masyarakat desa adalah
penduduk yang merupakan kesatuan masyarakat yang tinggal pada unit pemerintahan
terendah langsung di bawah Kepala Desa. Sedangkan pemerintahan desa, adalah
kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
organisasi pemerintahan yang terendah yang dilaksanakan oleh organisasi yang
terendah langsung di bawah Kepala Desa.
Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan program
pembangunan memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan
yang sama. Strategi yang bisa diterapkan adalah melalui strategi penayadaran.
Untuk berhasilnya program pembangunan desa tersebut, warga masyarakat dituntut
untuk terlibat tidak hanya dalam aspek kognitif
dan praktis, tetapi juga ada keterlibatan emosional pada program tersebut.
Hal ini diharapkan dapat memberi kekuatan dan perasaan untuk ikut serta dalam
gerakan perubahan yang mencakup seluruh bangsa. Untuk itu para pemimpin harus
menyebar luaskan kebijakan pembangunan desa, dan secara aktif
mengidentifikasikan diri dengan kebijakan tersebut.
Peranan pemerintah di sini adalah merencanakan dan
mengorganisir program pada tinekat nasional sesuai dengan kebijakan yang telah
ditentukan. Di samping itu pemerintah perlu menyediakan bantuan teknis dan
bantuan bahan-bahan pokok, di luar kemampuan masyarakat setempat dan
organisasi- organisasi non pemerintah lainnya.
Terkait dengan hal di atas,
maka partisipasi masyarakat menjadi elemen yang penting dalam pengembangan
masyarakat desa. Pusic mengemukakan bahwa perencanaan tanpa memperhitungkan
partisipasi masyarakat akan merupakan perencanaan di atas kertas. Berdasarkan
pandangannya, partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan
desa dapat dilihat dari dua hal yaitu:
- Partisipasi dalam perencanaan
- Partisipasi dalam pelaksanaan.
Dalam perkembangan pemikiran mengenai partisipasi
masyarakat dalam upaya pengembangan suatu komunitas, maka keterlibatan
masyarakat tidak saja dilihat pada tahap assessment
dan evaluasi. Sehingga tahap di mana keikutsertaan masyarakat diharapkan mulai
terlihat dalam suatu pendekatan non
direktif dapat dilihat pada:
1. Tahap
assessment
2.
Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan
- Tahap pelaksanaan (implementasi) program atau kegiatan ataupun
pada
- Tahap evaluasi (termasuk di dalamnya evaluasi input, proses dan
hasil)
Berdasarkan hal di
atas maka terlihat bahwa dengan pendekatan konsessus dari pengembangan
masyarakat, proses pemberdayaan yang dilakukan adalah dalam upaya membuat
masyarakat menjadi lebih pandai terutama dalam kaitan dengan penanganan
masalah-masalah yang muncul di masyarakat.
Dalam konsep Community Devolepment atau pengembangan masyarakat, perencanaan
pembangunan dengan pendekatan bottom up
(perencanaan dari bawah) menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan.
Dalam konsep ini, partisipasi menjadi kunci dari cummunity development. Pendekatan partisipatif adalah kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam
proses perencanaan.
Pendekatan ini
memungkinkan masyarakat mengenali sendiri potensi yang mereka miliki dan
mengenali permasalahan yang benar-benar mereka hadapi.
Sementara saat ini sering terjadi perencanaan datang
dari atas, memang terkesan menguntungkan sebab rencana seperti itu bisa cepat
dan relatif lebih mudah. Kerugiannya adalah pada kelayakan dan kemendesakannya
tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, bukan membuat rencana bersama
masyarakat. Prosedur yang telah dibuat untuk kerangka organisasi lokalpun
nyaris tidak diketahui.
Untuk mendapatkan
perencanaan yang benar-benar bersumber dari
kebutuhan masyarakat maka perlu dikembangkan tahap identifikasi
kebutuhan, yang biasa dikenal dengan CNA adalah Cummunity Need Assessment yaitu kegiatan diskusi secara bersama
untuk penggalian kebutuhan masyarakat, yang dipandu oleh oleh masyarakat
sendiri atau seorang fasilitator, baik ditingkat RW maupun Desa. Hasil
kesepakatan dalam diskusi tersebut merupakan rencana bersama yang dibahas
bersama dengan Pemerintah setempat untuk menjawab permasalahan yang ada.
Prinsip
yang terkandung di dalamnya adalah pada acuan kebutuhan nyata masyarakat, bukan
pada perkiraan atau dugaan semata. Oleh karena penjajakan kebutuhan masyarakat
skala desa diperoleh melalui suatu proses penentuan kebutuhan dasar baik social
ekonomi maupun fisik prasarana yang dapat ikut memecahkan berbagai persoalan
kemiskinan, pengangguran, dan pengemvbangan masyarakat. Prinsip yang terkandung
didalamnya adalah pada acauan kebutuhan nyata masyarakat, bukan pada perkiraan
atau dugaan dari para ahli.
Penjajakan kebutuhan masyarakat harus dilakukan
apabila paradigma pembangunan yang digunakan adalah paradigma pembangunan yang
bertumpu pada masyarakat. Upaya perencanaan pembangunan yang partisipatif,
didasarkan pada berbagai pertimbangan seperti tersebut di bawah ini.
A.
METODE
ATAU ALAT KAJIAN
Ada
beberapa alat kajian atau metode yang telah dikembangkan oleh beberapa lembaga
baik pemerintah maupun non pemerintah (LSM) seperti P3MD (program perencanaan
pembangunan masyarakat desa), PPK (program pengembangan kecamatan), Gardu
Taskin yang diprakarsai oleh Departemen Dalam Negeri, P2KP untuk penanggulangan
kemiskinan di perkotaan yang dimotori oleh Kimpraswil (PU) dan PRA (participatory rural appraisal) adalah
beberapa program pemberdayaan masyarakat dalam rangka menyusun perencanaan dan
pelaksanaan program pembangunan secara partisipatif. Hingga saat ini metode
tersebut masih dianggap representative sebagai basis penetapan rencana
pembangunan desa maupun kota ,
oleh karena itu partisipasi masyarakat menjadi kata kunci dalam program
pembangunan dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pembangunan
Yang Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat
Pembangunan yang bertupu pada masyarakat memiliki pengertian bahwa.
a.
Model
pembangunan yang dapat menumbuhkan prakarsa masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
praktis dan kebutuhan stategis dalam skala desa/kelurahan.
b.
Pembangunan
yang dihasilkan melalui proses pembelajaran, jaringan antar individu dan
kelompok dalam membangun kesadaran kritis masyarakat skala desa.
c.
Proses
pengembangan budaya kelembagaan yang mengatur kemandirian dalam berhubungan
dengan sesame anggota komunitas secara partisipatif dalam merumuskan
perencanaan pembangunan.
Pembangunan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat akan menciptakan
jaringan antar pelaku, penerima manfaat, organisasi pelayanan, pemerintahan,
swasta dalam pengelolaan sumber-sumber lokal.
Dengan basis kebutuhan masyarakat, maka proses perencanaan dimulai
dengan mengajukan berbagai saran dan usulan pembangunan berdasarkan kebutuhan
masyarakat untuk kebutuhan pembangunan fisik dan non fisik secara partisipatif
yang dituangkan dalam Rencana Program Pembangunan Jangka Menengah
Desa/Kelurahan serta mengikuti proses integrasi program skala lokal dalam
skenario pembangunan daerah.
2.
Media
Partisipasi Masyarakat Dalam CNA (community need assessment)
Untuk
menggali kebutuhan masyarakat diperlukan partisipasi masyarakat sebagai sumber
data dan informasi.
a.
Menggali permasalahan, menentukan
tujuan, merancang tindak lanjut, dan mengakomodasikan berbagai usulan kebutuhan
masyarakat melaui media Focus Group
Discussion/ Diskusi Kelompok Masyarakat di tingkat RW dan Desa/Kelurahan.
b.
Mengakomodasikan usulan kebutuhan
masyarakat lokal untuk ditindaklanjuti sebagai kebutuhan yang dapat
dilaksanakan dengan keswadayaan, APBD, serta sumber-sumber lain yang sah.
3.
Lembaga
Berbasis Masyarakat/ Community-Base Organization
a. Lembaga-lembaga
berbasis masyarakat adalah kelembagaan masyarakat local yang dapat menumbuhkan
prakarsa dalam perencanaan pembangunan di wilayah perkotaan/daerah yang
partisipatif skala local desa/kelurahan, yakni; RT/RW, PKK, KSM, Pokmas,
Posyandu, Karang Taruna, Remaja Masjid, Lembaga Pendidikan Desa dan yang
sejenisnya, dan lebih diutamakan apabila tahapan ini dilakukan melalui analisis
stakeholders desa.
b. Keterlibatan
lembaga berbasis masyarakat bersama-sama dengan aparat LKMD/ atau yang sejenis,
kelurahan, PMD, LMD/K, dalam melaksanakan proses penjajakan kebutuhan
masyarakat secara prosedural, tata urut dan mekanisme perencanaan pembangunan
yang partisipatif.
B.
FORMAT
USULAN KEBUTUHAN MASYARAKAT
Untuk
keperluan data base, sebagai acuan perencanaan, maka hasil penjajakan kebutuhan
perlu dibuat dokumentasi berupa Format Usulan Rencana Pembangunan jangka
Menengah skala Desa/Kelurahan. Format ini
merupakan gambaran Desa/Kelurahan secara umum yang berisi:
1) riwayat
desa/kelurahan
2) monografi,
potensi dan permasalahan
3) daftar
usulan disesuaikan dengan form yang telah disepakati bersama semisal Form digest
.
C.
TATA
URUT PROSES CNA
1.
Pemilihan
lokasi (pilot proyek).
a) Desa/Kelurahan
sebagai pusat pertumbuhan/perkembangan wilayah di Kecamatan yang didasarkan
pada SWP (Sub Wilayah Pembangunan Daerah) sebagai kebijakan pembangunan daerah,
RTRW, RDTRK/RUTRK.
b) Program
Strategis Daerah yang dihasilkan dalam proses pembelajaran di tingkat daerah.
2.
Training
of Trainer
a) Recruiting
CBO sebagai wakil desa/kelurahan untuk menjadi partisipan ToT (2-3 orang dengan
komposisi 1 orang aparat Desa/Kelurahan 2 wakil CBO dengan selalu
mempertimbangkan perspektif gender) yang pada pelaksanaannya difasilitasi oleh
Kepala Desa/Kelurahan.
b) Menyiapkan
modul pelatihan.
c) Mempersiapkan
fasilitator ToT, yang terdiri dari wakil Bappeda, PMD, NGS, dan Perform
Project.
d) Workshop
Modul ToT bersama team Fasilitator.
e) Pembagian
tugas fasilitasi.
3.
On
The Job Training
a) Implementasi
RKTL partisipan ToT di masing-masing wilayahnya, dengan melakukan FGD/DKM atau
aktivitas penjajakan kebutuhan yang sejenisnya tingkat RT/RW dan
Desa/Kelurahan.
b) Menyusun
proceeding hasil penggalian kebutuhan masyarakat skala Desa/Kelurahan.
4.
Lokakarya
tingkat desa/kelurahan
Hal ini
dilakukan untuk merumuskan Strategi Pembangunan Jangka Menengah/ SPJM
desa/kelurahan dalam tata urut perencanaan pembangunan daerah. Lokakarya untuk
tingkat desa ini biasa dilakukan dalam Musrenbangdes.
5.
Proceeding
hasil CNA
Dokumen
hasil lokakarya yang akan menjadi dasar pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa/Kelurahan, menjadi media untuk melakukan social marketing kepada pihak-pihak lain yang memerlukannya.
Daftar Pustaka
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan intervensi komunitas:
pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis. Jakarta :
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia .
Bauzon, Kenneth E (ed). 1992. Devolopment and Democratization in the Third World
Myths, Hopes and Realities. Washington
Crane Russak.
Brown Donald. 1995. Poverty-Growth Dichotomy. Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds).
People: From Impoverishment to Empowerment. New York University
Press.
Chambers, Robert. 1995. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts. Uner Kirdar dan
Leonard Silk (eds). From Impoverishment to Empowerment. New York University
Press.
Friedman,
John. 1992. Empowerment: The Politics of
Alternative Development. Cambridge
: Blackwell.
Gaulet, Denis. 1977. The Cruel Choice: Anew Concept in the Theory of Development, New York : Atheneum.
Korten, David C. 1984. People Centered Developent; West Harford
Kumarian Press.
PERFORM PROJECT. 2003. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa/ Kelurahan. Jakarta . Wisma Amex Lt 2.
Jl Melawai Raya No. 7.
Ul Haq, Mahbub, Et al. 1985. Human Development Raport 1985. New York :
Oxford University Press.