PEMBANGUNAN SOSIAL
Setelah berlangsung lima dekade – sejak tahun 50 an - konsep
“pembangunan” yang terlalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi (growth oriented),
ternyata tidak berhasil membangun harkat
dan martabat manusia secara “hakiki”. Berdasarkan data agregat
yang berskala dunia PBB mencatat bahwa pembangunan terutama hanya menghasilkan
pertumbuhan secara material, sehingga:
·
Tidak mampu menghasilkan
lapangan kerja yang memadai (jobless growth).
·
Tak mengenal belas kasihan (ruthless
growth), karena cenderung
menguntungkan sebagian orang saja, tetapi “menterlantarkan” lebih dari
satu milyar orang di dunia ini yang hidup dibawah garis kemiskinan.
·
Tidak mengakar pada dinamika
ekonomi masyarakat setempat, bahkan cenderung mencabut manusia dari akar
budayanya (rootless growth).
·
Terlalu banyak ditentuka oleh
para “pemimpin pembangunan” (tehnokrat), tetapi kurang mampu mendengar dan
mengakomodasi aspirasi rakyat, terutama kaum perempuan (voiceless growth).
·
Tidak jelas masa depannya,
karena telah merusak lingkungan dan “menghabiskan” sumberdaya yang tak dapat
diperbarui sampai tingkat yang amat mengkhawatirkan (futureless growth).
David Korten menambahkan, bahwa
“pembangunan” itu justru telah telah menjerumuskan dunia kedalam tiga krisis
besar dan mendasar yaitu:
- Kemiskinan
- Kekerasan
- Kerusakan lingkungan hidup
Secara peradaban, manusia di dunia
tidak mengalami kemajuan terutama dalam insting dasarnya (kerakusan,
agresivitas, kekerasan) dan dalam martabatnya karena terkena
pengangguran, kemiskinan, penganiayaan dsb.
Semua situasi diatas secara langsung
maupun tidak langsung dipengaruhi oleh “pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan”, sebab pertumbuhan menuntut sumberdaya yang besar dan “tak
terbatas”, padahal sumber-sumber yang
tersedia diplanet bumi ini terbatas dan perlu dibagi untuk semua orang. Maka
pembangunan seperti itu akan selalu ditandai dengan “perebutan sumber-sumber”
dan ini mengundang persaingan, konflik,
peperangan dan dominasi (penjajahan) bahkan penindasan. Dalam kondisi seperti
ini pengembangan manusia (human development) yang beretika dan beradab akan
terabaikan.
Di seluruh dunia, ideologi
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan ditentukan serta direncanakan secara “rapih” dari atas
(tehnokratis), kini secara sinis disebut sebagai “developmentalism”. Di
Indonesia, misalnya kegagalan Pembangunan yang bersifat terpusat itu kini telah
dikoreksi dengan kebijakan desentralisasi yaitu melalui otonomi
daerah. Otonomi memang merupakan
prasyarat penting didalam pembangunan yang benar-benar bersifat memberdayakan.
Namun, pemberian otonomi daerah sering dianggap sebagai “sesuatu” yang serta
merta akan memecahkan segala masalah pembangunan. Kita harus mempertanyakan lebih
jauh:”otonomi untuk siapa?”. Kebijakan otonomi kita saat ini hanya untuk daerah
(baca:pemerintah daerah), bukan untuk rakyat, sehingga sering terjadi setelah
otonomi, pemerintah daerah (termasuk DPRD) cenderung mengulang perilaku
pemerintah pusat pada masa lalu, sehingga rakyat banyak tetap tidak mampu
menyampaikan aspirasinya dan diberi ruang yang memadai untuk berpartisipasi
dalam proses pembangunan. Dalam situasi seperti ini yang terjadi bukan
demokrasi tetapi “oligarki” (kekuasaan dipegang oleh sekelompok kecil
orang). Itu sebabnya sekarang banyak orang yang mengeluh bahwa reformasi lebih
buruk hasilnya bagi rakyat daripada
jaman Orba.
Situasi diatas menunjukkan bahwa
perubahan yang terjadi di Indonesia baru pada tingkat “teori”, yakni dari teori
“pembangunan terpusat” menjadi pembangunan yang “terdesentralisasi”, tetapi
filosofi dasar, asummsi dasar, atau paradigmanya masih tetap sama yaitu
“pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan”. Jadi masalah pembangunan
adalah adalah masalah “paradigmatic”. Oleh karena itu yang perlu dilakukan
untuk mengkoreksi jalannya pembangunan adalah perubahan yang lebih mendasar
yaitu “perubahan paradigma” (paradigm shifting).
Paradigma yang baru akan banyak
merubah makna dari kebijakan-kebijakan
yang diambil, misalnya otonomi yang hakiki adalah otonomi bagi rakyat, bukan
hanya bagi daerah. Hal ini tentunya menuntut suatu mekanisme hukum dan
peraturan yang baru dan harus diikuti dan diimbangi dengan kesiapan mental dan cara berpikir
serta kesiapan sosiologis yakni kesiapan dalam pranata sosial, pola
perilaku serta budaya masyarakat luas. Pembangunan harus secara seimbang
mencakup aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Dalam rangka mempersiapkan diri untuk
perubahan paradigma pembangunan tersebut, bahan pembelajaran ini akan
difokuskan pada aspek “pembangunan
sosial-budaya”, tujuannya bukan untuk menarik garis tegas bahkan
mempertentangkan antar sektor sosial budaya dengan sektor ekonomi atau sektor
lain (karena pembangunan pada hakekatnya adalah bersifat holistik), tetapi
sekedar untuk menunjukkan secara jelas dan tegas apa ruang lingkup dan karakter
(sifat) yang khas dari “pembangunan sosial-budaya” disamping itu juga untuk
“menyeimbangkan” konsep pembangunan yang selama ini masih bias pada satu aspek saja yaitu ekonomi.
Seperti dikatakan diatas, pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan dan bersifat deterministik ternyata
mengandung banyak kelemahan dan kini telah dianggap ketinggalan jaman. Ideologi
pembangunan itu kini secara sinis disebut sebagai “developmentalism”.
Ideologi yang baru lebih banyak menggunakan istilah “pemberdayaan” dan
menyeimbangkan aspek material dan ekonomis dengan aspek-aspek sosial-budaya.
Trend yang berkembang dalam teori
pembangunan tersebut adalah sbb:
Ø Pendekatan developmentalisme cederung bersifat makro dan banyak
mengandalkan pada generalisasi, sehingga banyak menggunakan grand
theories (teori besar yang berlaku
umum dan universal), sementara pendekatan baru lebih percaya pada diferensiasi,
sehingga lebih banyak menggunakan “middle range theory” (teori yang
lebih spesifik) bahkan seringkali bekerja dengan mengandalkan pada “teori
lokal” ( local knowledge serta local wisdom).
Ø Pendekatan lama cenderung mengunakan konsep, indikator dan
model-model yang dirancang dibelakang meja (unreflexive), sedangkan
pendekatan baru menganggap pembangunan adalah suatu proses “social learning”
yang terus menerus. Pembangunan memberikan feedback yang perlu ditanggapi, jadi
sifatnya sifatnya harus “reflexive”.
Ø Pendekatan lama cenderung bersifat sektoral, mengkotakkan
pembangunan kedalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dsb. Pendekatan
seperti ini masih bersifat multi disiplin. Pendekatan baru lebih bersifat interdisiplin,
intersektoral atau cross sektoral yakni berusaha untuk
menjembatani “gap” antar sector dan berusaha
mencari titik singgung dan titik temu antar bidang ilmu (embeddedness)
sehingga menghasilkan cabang-cabang baru seperti ilmu ekonomi kelembagaan, sosiologi
perekonomian, konsep social capital dsb. Pendekatan ini bersifat holistic.
Ø Pendekatan lama menekankan pada perdebatan tentang aktor yang
memainkan peran utama dalam pembangunan ,
sehinga muncul tarik menarik antar
pendekatan “state-led
development”, “market-led development” atau “society-led development”,
sementara itu pendekatan baru lebih menitik beratkan pada sinergi antar
kekuatan-kekuatan tersebut. Pendekatan baru melihat pembangunan sebagai “public
action”.
Ø Pendekatan lama cenderung
mengasumsikan bahwa pembangunan akan menghasilkan masyarakat yang homogen diseluruh
dunia. Pendekatan ini percaya bahwa semua kegiatan pembangunan akan bermuara
pada suatu kondisi atau tujuan yang sama
yaitu “modernisasi” bahkan “westernisasi” (seperti yang
terjadi pada masyarakat “Barat”), sehingga pendekatan ini mengandalkan pada golongan
yang kuat. Pendekatan ini melihat pembangunan sebagai bantuan kemanusiaan
untuk menyembuhkan masyarakat yang sakit atau kekurangan. Pendekatan baru
cenderung bersifat “seimbang” (balanced) antar berbagai kelompok atau
golongan. Pendekatan ini melihat kemungkinan terjadinya “politics of
difference”, adanya kemungkinan polarisasi didunia yang akan menghasilkan
kontrak global antar bangsa di dunia (bukan antar masyarakat yang kaya saja).
(lihat Jan Pieterse, 2001).
Paradigma pembangunan yang baru sering disebut sebagai Pembangunan yang
Berpusat pada Manusia (People Centred Development). Ciri penting dari paradigma
baru ini adalah “menempatkan manusia sebagai pusat (tujuan akhir) dari
aktivitas pembangunan dan bukan hanya sebagai alat”. Tujuan tertinggi dari
pembangunan adalah tercapainya Human Development, jadi apapun yang telah
dihasilkan oleh pembangunan (perkembangan ekonomi, pembangunan fisik dsb.),
bila tidak menghasilkan human development, maka pembangunan tersebut
belum dianggap berhasil dan program-programnya perlu dikoreksi. Untuk menjamin
tercapainya human developmen” dibuat suatu alat ukur yaitu Human
Development Index (yang pada dasarnya mengukur: lama hidup, pengetahuan,
dan standard hidup yang layak). Pada awalnya (l990), alat ukur ini
terdiri dari:
·
angka harapan hidup (life
expectancy)
·
angka melek huruf (adult
literacy rate)
·
daya beli (purchasing power)
·
th. 1991 ditambahkan “rata-rata
lama bersekolah” (means years of schooling)
·
Pemerataan pendapatan (income
distribution)
·
ketimpagan jender (gender
disparity)
·
tahun 1995 diperkenalkan Gender
related Development Index (GDI), Gender Empowerment Measures (GEM)
·
1997 diperkenalkan Human Poverty Index (HPI).
Human Developmen
pada dasarnya adalah proses “memperluas pilihan bagi manusia” (enlarging people’s
choices), tetapi disamping hidup panjang, berpendidikan dan memiliki standar
hidup layak, diperlukan juga pilihan dalam kehidupan politik, memperoleh hak
asasi dan martabat kemanusiaan (self
respect), oleh sebab itu orang juga harus memiliki kesempatan memperoleh
waktu luang, aktif dalam kehidupan budaya, sosial dan politik. Pemangunan harus
memberikan semua ini secara seimbang.
Dengan kata lain, secara singkat
Human Development adalah:
·
Development of the people (pembangunan hakekat dan martabat manusia spt. pendidikan,
kesehatan, agama dsb.).
·
Development for the people (yaitu kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan terutama lapangan kerja)
·
Development by the people (kesempatan untuk ikut dalam pembangunan terutama hak-hak politik).
Dalam Human
Development Report th. 1995, PBB menyebutkan bahwa unsure essential dari
paradigma “human development” adalah:
·
Produktivitas: manusia mampu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam proses kerja
(employment).
·
Equity: manusia harus memperoleh kesempatan yang sama. Segala bentuk
hambatan yang diskriminatif harus dilenyapkan
·
Sustainability: kesempatan pembengunan tidak hanya tersedia bagi generasi sekarang
tetapi juga bagi generasi selanjutnya.
·
Empowerment: Pembangunan harus dilakukan oleh manusia mulai dari pengambilan
keputusan sampai pelaksanaan.
Perubahan paradigma bukan suatu hal yang
mudah karena menyangkut perubahan mendasar
“cara berpikir” manusia yang telah berlangsung cukup lama. Teori lama
perlu dikoreksi (Trickling-down effect, growth pole, basic human needs dsb.)
digantikan dengan capacity building, sutainable development, community based
development dsb. Konsep-konsep yang dulu popular seperti efficiency harus
diganti dengan effectiveness, centralization dengan decentralization,
development aids dengan self reliance,
quantity dengan quality dsb. Dominasi financial dan physical capital
harus diimbangi dengan social capital
dan cultural capital. Konsep human resource yang lebih berkonotasi
sebagai obyek pembangunan atau alat pembangunan harus lebih dilihat sebagai
subyek atau bahkan tujuan pembangunan. Namun dunia sedang menuju kesana. PBB
malalui UNDP telah mensponsori dengan
Human Developmen Index (HDI) yang kini tela diakui sebagai suatu kriteria baru
untuk mengukur keberhasilan pembangunan dari setiap negara di dunia (disamping
GNP), dan telah melaporkannya setiap tahun dalam Human Development Report
(HDR). Keikutsertaan hampir seluruh negara di dunia dalam HDR telah menunjukkan
suatu political will yang meluas.
Pemikiran yang terkandung dalam
konsep Pembangunan Berpusat Rakyat telah memberikan koreksi yang mendasar pada
paradigma lama dan menunjukkan arah yang amat menjanjikan bagi pembangunan
manusia dimasa depan. Akan tetapi pada kenyataannya proses perubahan paradigma
tersebut tidak mudah dan masih banyak inkonsistensi yang terjadi. Contohnya
proses globalisasi yang kini melanda dunia masih banyak diwarnai oleh dominasi
kepentingan ekonomi yang amat bersifat kapitalistik sehingga praktek-praktek
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan mengabaikan “human
dvelopment” masih berlangsung seperti sediakala.
Salah satu prasyarat penting untuk
tercapainya PBR adalah terciptanya keseimbangan antara pembangunan aspek
ekonomi dengan aspek sosial-budaya. Tetapi sampai saat ini konsep
pembangunan sosial-budaya masih belum terumus secara konkrit, spesifik, sistematis dan terukur sehingga belum menarik
para perencana pembangunan untuk
mengakomodasikannya. Tujuan dari bahan pengajaran ini adalah untuk
menjawab tantangan itu.
Pembangunan sosial budaya bukan
sekedar pembangunan “sektor sosial-budaya” (misalnya sektor pendidikan, sektor
kesehatan, sektor agama dsb.), tetapi merupakan suatu “pendekatan” yang
memiliki substansi tertentu dan
prinsip-prinsip dasar tertentu.
Karakteristik
dan sifat pembangunan sosial-budaya sampai saat ini dapat dirumuskan sbb:
·
Pembangunan Sosial bukanlah
pembangunan “individual”: artinya pembangunan sosial adalah menyangkut
perbaikan bagi orang banyak, bukan perorangan atau sekelompok kecil orang.
Suatu program (sektor) pendidikan yang hanya bisa meningkatkan SDM dari
individual atau sekelompok kecil orang tidak dapat disebut sebagai suatu
pembangunan sosial. Pembangunan sosial adalah pembangunan yang dinikmati oleh
masyarakat luas. Oleh karena itu masalah kesenjangan antar kelompok adalah
suatu masalah sosial. Pembangunan sosial adalah suatu usaha untuk mengurangi
kesenjangan tersebut.
·
Pembangunan Sosial sering
diartikan sebagai usaha untuk menghilangkan atau mengurangi masalah-masalah sosial yaitu suatu
masalah yang mengganggu kehidupan orang banyak (kejahatan, kenakalan
remaja, pelacuran dsb). Konsep ini benar, tetapi masih terlalu sempit, karena
pembangunan sosial-budaya juga mencakup pembangunan sendi-sendi masyarakat yang paling dasar
seperti integrasi nasional (pembangunan societal). Pembangunan
yang bersifat societal harus dapat menghasilkan resilience (ketahanan
budaya terhadap berbagai tantangan dari luar dan dalam), sustainability (suatu
kemampuan mempertahankan dan mengembangkan
kemajuan yang telah diperoleh), dan pemberdayaan (suatu penguatan
pada komponen-komponen dalam masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri
secara mandiri).
·
Pembangunan sosial tidak hanya
sekedar untuk mengurangi kemiskinan, karena tanpa pemberdayaan
masyarakat dalam arti yang sesunguhnya, penanggulangan kemiskinan sering
tidak menghasilkan pembangunan sosial. Program pengentasan kemiskinan seperti
JPS, Raskin, padat karya, seringkali tidak berhasil melenyapkan kemiskinan
secara hakiki dan permanen, tetapi justru telah menyebabkan sikap tergantung,
penyelewengan pada masyarakat miskin.
Oleh karena itu masalah kemiskinan harus dilihat sebagai masalah sosial
yang sistemik (societal) yaitu mencakup keterkaitan berbagai dimensi. Untuk
mengatasi hal ini tidak cukup dengan program-program yang bersifat ekonomi saja
tetapi pembangunan berbagai aspek kemasyarakatan (pemberian otonomi,
perlindungan sosial, pengembangan modal sosial, solidaritas sosial, basic
rights entitlement dsb).
·
Fungsi pembangunan lainnya yang
masuk dalam ruang lingkup pembangunan sosial-budaya adalah:
§ merombak budaya atau struktur sosial yang tidak adil (misalnya
kesetaraan jender).
§ membangkitkan potensi yang tersimpan di masyarakat (Human Capital,
Social Capital, Cultural Capital)
§ merekatkan struktur sosial yang retak (disintegrasi sosial).
§ pembangunan sistem perlindungan sosial (social protection)
§ pembangunan sosial adalah “pengembangan partisipasi” itu sendiri,
bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai tujuan (budaya).
§ pembangunan sosial adalah
menyangkut penciptaan perubahan dan pengembangan proses sosial baik dari dimensi structural maupun cultural (nilai-nilai,
norma, symbol-simbol) agar tercipta pola hubungan sosial dan pola
interaksi dan pola perilaku yang mendorong terciptanya keteraturan
sosial yang dikehendaki.
§ pengembangan civil society (LSM, Community Based Organization.).
§ pengembangan local capacity, memfasiliasi kemitraan dengan pemerintah.
§ pembangunan sosial juga menghilangkan social distress (seperti
violent conflict dsb)
Perlu diingat bahwa kesalahan arah
pembangunan yang terjadi bukanlah karena kesalahan pembangunan ekonomi, yang
salah adalah idealismenya yaitu pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan. Paradigma pembagunan ini salah, karena memiliki sifat dan
pendekatan yang keliru, yaitu:
§ Reduksionistik: kebutuhan manusia seolah
hanya materi saja.
§ Statis dan absolutis: ditentukan secara
sepihak oleh para teknokrat sebagai pemikir dan pemimpin pembangunan, tidak
suka pada perubahan paradigma.
§ Sentralistik-korporatis: mengandalkan
pada pemerintah yang kuat dan terpusat.
·
Pembangunan sosial tidak boleh
bersifat deterministik, tetapi harus membuka kesempatan bagi public
negotiation (inovasi/demokratisasi/ruang sosial semi otonom). Oleh karena itu
dalam rangka pembangunan sosial harus diciptakan ruang-ruang publik
dimana warga masyarakat dapat mengekspresikan kepentingan dan kebutuhan mereka.
Organisasi didalam masyarakat yang benar-benar berbasis pada masyarakat perlu
memperoleh tempat dalam proses perencanaan (pengembangan sociability)
·
Pendekatan pembangunan sosial
perlu menghilangkan sifat hubungan manusia yang hanya berdimensi “materialistik”,
pandangan yang hanya satu dimensi (one dimensional man) ini sering
mereduksi manusia menjadi “materi” atau “obyek” yang tidak memiliki “makna
subyektif” dan mampu melakukan komunikasi dan interaksi yang produktif.
Individu sebagai aktor yang memiliki kemampuan menginterpretasi situasi dengan
“makna subyektif” harus tetap mendapat tempat sebagai subyek dalam proses
pembangunan yang menyangkut dirinya. Oleh karena itu keputusan pembangunan
harus bersifat dialogis dan
negotiable (“social order is a negotiated order” ). Mengingat hal
itu, pembangunan sosial menolak pendekatan fungsionalisme yang cenderung
mempertahankan statusquo, tetapi juga aliran konflik yang hanya melihat konflik
sebagai satu-satunya cara untuk membebaskan manusia dari struktur yang
menindas. Sinergi merupakan suatu jalan keluar yang ideal dalam
pembangunan yang berkesinambungan.
·
Apa itu sinergi?:
Ø Asal kata synergy adalah synthesizing energy artinya energi dari dua
atau lebih pihak bukan sekedar
ditambahkan, tetapi disintesakan secara kreatif (creative synthesis) untuk
menghasilkan kekuatan yang berlipat ganda (the whole is greater then the sum of
its parts) atau 1+1=3 atau 5 atau lebih dari itu!.
Sekarang ini manusia kebanyakan berpikir dalam kerangka “zero sum game” yaitu menang atau kalah,
karena berlandaskan pada asumsi dasar “pie of a fixed size” (kue yang
diperebutkan jumlahnya tetap, sehingga terjadi persaingan untuk memperoleh
sumber-sumber yang terbatas). Jadi yang menang akan mendapat kue itu dan yang
kalah tidak mendapat apa-apa!. Cara berpikir serupa ini yang telah membuat
dunia ini tidak pernah bisa keluar dari konflik yang melelahkan dan menghancurkan. Dimasa depan
perlu kreativitas untuk mencari jalan atau cara yang dapat menguntungkan semua pihak. Hal ini memerlukan
longterm relationship commitment (hubungan antar manusia atau
kelompok tidak dilihat sebagai hubungan sesaat, tetapi hubungan jangka panjang
yang perlu dipelihara dengan baik). Dengan cara berpikir seperti ini, kita
harus berpikir bahwa pihak yang kita kalahkan akan terus hidup bersama kita,
jadi bila mereka tidak mendapatkan apa-apa maka mereka akan menjadi benih
ganguan dan konflik dimasa depan. Harry Edwards menulis:”Losers are
dangerous!”. Kekalahan akan menghasilkan perlawanan baik tersembunyi maupun
revolusi. Kekalahan Jerman di Perang Dunia I misalnya, adalah benih dari
munculnya Perang Dunia II.
Ø Individu tidak bisa dikorbankan demi kemaslahatan masyarakat atau
komunitas, karena “communal good = individual good” (individu tidak bisa
ditekan terus menerus untuk kebaikan masyarakat, individu harus ikut merasakan
hasil pembangunan masyarakatnya). Sigmund Freud mengatakan: “..if we denied
self in one way, it resurfaces in another” (muncul agresi, alkoholisme,
depresi, bunuh diri, anomi dsb.). Charles Cooley menambahkan: ”Self and other
are but two sides of the same coin”. Jadi untuk kebaikan orang lain, kebaikan
diri sendiri juga perlu dipenuhi, tetapi sebaliknya orang tidak bisa memenuhi
kepentingannya sendiri terus menerus tanpa memikirkan kebutuhan orang lain,
keduanya melekat.
Ø Setiap anggota masyarakat perlu memperoleh penyadaran atau
pendidikan agar menjadi individu yang mampu melihat dirinya sebagai anggota
masyarakat yang “berkesadaran sosial” (self actualized people). Maslow
mengatakan:”Self actualised” people are outside themselves, immersed in
community, able to involved with others”.
Ø Yankelovich mengemukakan bahwa etika yang berlaku di masyarakat
adalah etika komitmen (ethic of commitment) yaitu komitmen untuk
menciptakan “maximum self” (pemenuhan
kebutuhan pribadi yang sepenuhnya) tetapi sekaligus juga “maximum community” (memenuhi kepentingan
masyarakat sepenuhnya).
Ø Agresivitas di masyarakat yang amat tinggi (bukan hanya di Indonesia saja,
bahkan juga di Amerika) sebenarnya berakar dari kegagalan masyarakat itu untuk
menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat.Ruth Benedict:” aggression
must abound if the only way a person can get ahead is at another person’s expense”.
Karena itu benar apa yang dikatakan Harvard Negotiation Project:”The only
successful conflict resolution is a win-win agreement”.
Ø Sebagai suatu etika “baru” sinergi memang tidak serta merta dapat
terjadi menggantikan etika lama yaitu “win-lose” solution. Tetapi peperangan,
kekerasan dan kekacauan yang tiada henti dalam masyarakat manusia didunia ini
perlu pemikiran ulang. Hanya suatu penemuan kreatif yang bersifat “win-win”
akan dapat menghasilkan perdamaian yang
abadi. Situasi “Win-lose” adalah merupakan tradisi maskulinisme yang telah
merajai dunia amat lama. Sebagai pendekatan yang lebih beradab, sinergi
menjunjung tinggi “politics of self esteem” yang berlandaskan pada: “saving
face strategy”.
Ø Hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan “sinergi” adalah –
seperti yang dikatakan Kanter: ”Synergy is not a matter of chemistry, but of
social design”. Sinergi tidak hanya
harus dilakukan bila kita memperoleh pasangan yang cocok. Sinergi seharusnya
dilakukan dengan semua pihak, karena sinergi adalah merupakan suatu mekanisme
sosial yang telah diciptakan secara kreatif (social design). Ini adalah suatu
tantangan baru dari pembangunan di masa depan dan tambahan pula sinergi harus menjadi “evaluative mechanism
dari good society”.
Pembangunan yang berbasis nilai (value based development):
Uraian diatas
menunjukkan pada kita bahwa merubah paradigma pembangunan yang lama bukanlah
pekerjaan mudah. Paradigma pembangunan yang baru harus merupakan pembangunan
yang seimbang antara aspek ekonomi dengan aspek-aspek kehidupan manusia
lainnya. Manusia masih memerlukan lebih
banyak lagi “social learning” untuk mengembangkan kesadaran baru yang
diperlukan bagi suatu peradaban baru.
Yang terpenting dari pembangunan
aspek sosial-budaya adalah “nilai” yang membimbing pembangunan itu,
misalnya nilai keadilan, kerukunan, kemandirian dsb. Pembangunan yang hanya
berorientasi pada pertumbuhan jelas bukan merupakan pembangunan “yang
sebenarnya” karena tidak ada substansi nilai-nilai yang menjadi acuannya. Bila
pembangunan pendidikan, misalnya, hanya diukur keberhasilannya dari berapa
“pertumbuhan” jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah lulusan dsb., maka
itu bukan “pembangunan nilai”. Bila pembangunan di dasari oleh suatu sistem
nilai misalnya:”kemandirian”, maka keberhasilan pembangunan akan diukur
oleh indikator-indikator seperti: berapa jumlah sekolah yang dibangun “secara
mandiri” oleh masyarakat?, berapa banyak lulusan SLTP/SLTA yang bisa membuka
lapangan kerja sendiri? Dsb. Demikian pula dengan program dibidang kesehatan,
bukan hanya diukur dengan pertambahan tempat tidur per-jumlah penduduk tetapi misalnya “tercapainya budaya sehat,
kerjasama masyarakat dalam menanggulangi kesakitan” dsb. Dengan kata lain pembangunan
yang berbasis pada masyarakat haruslah pembangunan yang berbasis “nilai”,
karena yang akan dibangun adalah nilai-nilai tertentu yang dipandang baik untuk
rakyat, untuk manusia, sehingga dijadikan suatu cita-cita pembangunan, karena
itu diakhir setiap program harus diukur apakah nilai yang didambakan sudah
bertumbuh? Saat ini sering terjadi hasil
pembangunan yang bersifat paradoxal, seperti lulusan sekolah semakin banyak
tetapi penganggur juga semakin banyak.
Jumlah sekolah semakin banyak tetapi anak nakal (tawuran) semakin banyak, jadi pembangunan pendidikan tidak mencapai
suatu nilai tertentu (misalnya nilai “kemandirian”, “kerukunan”, atau
“intelektual”), tetapi hanya menghasilkan gedung sekolah, ijasah, dan lulusan.
Kesimpulan:
·
Pembangunan Sosial adalah untuk
melengkapi Pembangunan yang saat ini bias ekonomi
·
Pembangunan Sosial harus mampu
melakukan analisis kritis pada setiap rencana pembangunan dan dampak
pembangunan dalam kaitannya dengan tujuan hakiki pembangunan.
·
Pembangunan Sosial harus bisa melakukan analisis
sosiologis tentang potensi-potensi yang terkandung di masyarakat/
kebudayaannya
·
Pembangunan Sosial harus
melengkapi diri dengan metodologi yang secara konsisten mendukung
prinsip-prinsip dasarnya (mis. penelitian partisipatif, evaluasi partisipatif
dsb.).
·
Pembangunan Sosial-Budaya bukan
“Social Engineering” dimana “pemimpin pembanguanan” memiliki “total control”
terhadap lingkungan yang ada dan
berusaha untuk memanipulasi masyarakat dengan
menggunakan semua informasi atau data yan tersedia.
·
Pembangunan Sosial lebih tepat
disebut “social architecture” (lihat du Bois) dimana prosesnya bersifat
“interactive” (tidak deterministic). Keindahan yang dihasilkan dengan cara
berinteraksi dengan masyarakat adalah tujuan utama dan tidak selalu harus
nampak pada design awal. Oleh karena itu “sosiolog” harus menjadi seorang
“seniman” yang berusaha menemukan bentuk-bentuk baru pranata dan organisasi
dalam masyarakat (social forms) dengan cara: menciptakan sumber-sumber yang
baru, program-program percontohan dsb. Du Bois:” We should be offering up
parisipatory resources that actions can
bring to the situation to create their
own meaning”.
·
Karena itu suatu hasil
pembangunan baru dapat dinilai setelah program-programnya hidup di masyarakat
(dijalankan secara sadar bersama-sama dengan
menciptakan suatu interaksi yang partisispatif dan disepakati).
*********